Monday 12 December 2016

Menulis (4.10): Mari Menyahabati Diri

Ersis Warmansyah Abbas
Dalam kaitan menulis, tidak dapat tidak, ”penentu” paling utama adalah diri kita. Pihak luar bisa saja berpengaruh, mampu memotivasi atau menakuti, tetapi eksekutornya tetap diri sendiri. Begitu pula, gagal atau berhasil, dirilah penentu utamanya. Dalam kaitan menulis, tidak dapat tidak, ”penentu” paling utama adalah diri kita. 
MENYAHABATI diri berarti kita mampu melakukan introspeksi. Menulis, bisa jadi penting bisa pula dianggap tidak bermanfaat, sesuai persepsi masing-masing orang, tetapi ketika dijadikan pilihan, menulis merupakan refleksi diri. Karena itu, sesiapa yang berkehendak menulis haruslah memahami dirinya. Memahami diri diimbuhi dengan memahami orang lain sebagai ”pasar” tulisannya. Mereka yang menulis hanya baik menurut dirinya, menanam kegagalan sejak memulai menulis.
 
Manakala kita mampu memahami diri otomatis filter-filter akan terpasang dengan sendirinya. Mereka yang menatap diri, misalnya tidak mungkin menulis apa yang tidak dipahaminya. Seorang nasionalistis mana mungkin menjelek-jelekkan negeri sebagaimana penebar kebaikan menulis tentang keburukan bangsanya.

Kesemua itu berawal dari memahami diri. Setelah memahami diri, mengetahui kelemahan, memindai kelebihan, dan potensi apa yang dapat dikembangkan untuk menanam kebaikan, mana tahu menulis dijadikan sebagai kebutuhan. Kebutuhan untuk berbagi hikmah. Ya, memahami diri untuk menyahabati diri menuju menulis berbagi.

Menyahabati diri berarti mengembangkan hal-hal positif dan melupakan hal negatif dan pendenda, dengan mengambil pembelajarannya untuk membangun diri lebih kuat. Dalam menulis, menyahabati diri berarti pula menjadikan diri senang dan menyenangkan. Menulis tidak untuk membuat pikiran pusing, perasaan tidak karu-karuan, dan atau, menjadi beban kehidupan.

Pada sisi lebih mendalam, menulis berarti mengobati diri. Apa-apa yang mengganjal, apa yang mendenda manakala ditulis menjadikan perasaan lega. Apa-apa yang dicita-citakan, sekalipun tidak kesampaian, manakala ditulis menjadikan pikiran plong. Jangan sampai hal terpendam mengusik dan merusak jiwa. Menulis lakuan pembersihan diri, katarsis. Dus, menulis bermakna media penyehatan; penyehatan jiwa.

Begitulah. Manakala menulis sudah menjadi kebutuhan, kita akan giat belajar, memasok pikiran dan perasaan dengan hal-hal bermanfaat dan menjadikan diri mempunyai kebanggaan, menjadi percaya diri. Diri menjadi berarti.
 
Mari menyahabati diri, mari menulis, menulis menyahabati diri untuk membangun persahabatan. Persahabatan Menulis.
 
Bagaimana menurut Sampeyan?

Share this

0 Comment to "Menulis (4.10): Mari Menyahabati Diri"

Post a Comment