Ersis Warmansyah Abbas
Dalam kaitan menulis, tidak dapat tidak, ”penentu” paling utama adalah diri kita. Pihak luar bisa saja berpengaruh, mampu memotivasi atau menakuti, tetapi eksekutornya tetap diri sendiri. Begitu pula, gagal atau berhasil, dirilah penentu utamanya. Dalam kaitan menulis, tidak dapat tidak, ”penentu” paling utama adalah diri kita.
MENYAHABATI diri berarti kita mampu melakukan introspeksi. Menulis,
bisa jadi penting bisa pula dianggap tidak bermanfaat, sesuai persepsi
masing-masing orang, tetapi ketika dijadikan pilihan, menulis merupakan
refleksi diri. Karena itu, sesiapa yang berkehendak menulis haruslah
memahami dirinya. Memahami diri diimbuhi dengan memahami orang lain
sebagai ”pasar” tulisannya. Mereka yang menulis hanya baik menurut
dirinya, menanam kegagalan sejak memulai menulis.
Manakala kita mampu memahami diri otomatis filter-filter akan terpasang
dengan sendirinya. Mereka yang menatap diri, misalnya tidak mungkin
menulis apa yang tidak dipahaminya. Seorang nasionalistis mana mungkin
menjelek-jelekkan negeri sebagaimana penebar kebaikan menulis tentang
keburukan bangsanya.
Kesemua itu berawal dari memahami diri. Setelah memahami diri,
mengetahui kelemahan, memindai kelebihan, dan potensi apa yang dapat
dikembangkan untuk menanam kebaikan, mana tahu menulis dijadikan sebagai
kebutuhan. Kebutuhan untuk berbagi hikmah. Ya, memahami diri untuk
menyahabati diri menuju menulis berbagi.
Menyahabati diri berarti mengembangkan hal-hal positif dan melupakan
hal negatif dan pendenda, dengan mengambil pembelajarannya untuk
membangun diri lebih kuat. Dalam menulis, menyahabati diri berarti pula
menjadikan diri senang dan menyenangkan. Menulis tidak untuk membuat
pikiran pusing, perasaan tidak karu-karuan, dan atau, menjadi beban
kehidupan.
Pada sisi lebih mendalam, menulis berarti mengobati diri. Apa-apa
yang mengganjal, apa yang mendenda manakala ditulis menjadikan perasaan
lega. Apa-apa yang dicita-citakan, sekalipun tidak kesampaian, manakala
ditulis menjadikan pikiran plong. Jangan sampai hal terpendam mengusik
dan merusak jiwa. Menulis lakuan pembersihan diri, katarsis. Dus,
menulis bermakna media penyehatan; penyehatan jiwa.
Begitulah. Manakala menulis sudah menjadi kebutuhan, kita akan giat
belajar, memasok pikiran dan perasaan dengan hal-hal bermanfaat dan
menjadikan diri mempunyai kebanggaan, menjadi percaya diri. Diri menjadi
berarti.
Mari menyahabati diri, mari menulis, menulis menyahabati diri untuk membangun persahabatan. Persahabatan Menulis.
Bagaimana menurut Sampeyan?
0 Comment to "Menulis (4.10): Mari Menyahabati Diri"
Post a Comment