Thursday 15 December 2016

Menulis (3.7) Menyimpan Ide

Ersis Warmansyah Abbas

SETIAP hari otak kita digempur Ide. Ada ide yang bisa langsung ditulis, ada ide yang perlu pengendapan, ada yang perlu disimpan, dan ada yang begitu menyapa dibuang. Dunia manusia, kehidupan manusia, adalah dunia ide. Kalau tidak ada ide, barangkali ras manusia tidak lebih bagus nasibnya dari ras binatang.

Begitu artis porno Jepang, Miyabi, ditangkal masuk Indonesia. Ada ‘pengharaman’, ada keinginan mengetahui, dan menuliskannya. Demi Allah, sampai hari ini belum pernah melihat gambar Miyabi. Sebenarnya semacam sikap anti ‘kampanye larangan’. Saya malahan berangan-angan, ada pihak yang melarang buku-buku saya. Pelarangan ide, karya kreatif, sebenarnya bantuan kampanye gratis.

Tetapi, karena memang tidak tertarik, harap maklum pekerjaan saya cukup banyak, terlalu sia-sia kesempatan kalau hanya untuk melihat ‘paha’ atau ‘susu’ Miyabi. Lupakan. Soal Miyabi biarlah urusan yang berkecanduan. Ide mempelajari dan menulis tentang Miyabi, lupakan. Banyak yang lain.

Ketika mantan Menkes Siti Fadilah Supari menulis buku ‘berani’ saya bingung soal proyek NAMRU2, dan di Kalimantan asap mendenda di musim kemarau, banjir menghajar manakala musim hujan, dan kebetulan saya membaca novel Snows, Orhan Pamuk, membangun, mengembangkan ide menulis novel. Jadilah novel ASAP.

Mengeksekusi ide yang harus didelet tentu pekerjaan mudah, menuliskan ide yang ‘dikuasai’ tentu menyenangkan, langsung jadi tulisan. Satu hal yang dihindarkan menulis setengah-setengah. Tidak membiasakan ‘Partai Tunda’, tulisan harus menjadi. Bagaimana kalau setengah jadi? Buang. Lupakan. Jangan pernah menyimpan hal yang tidak jelas.

Seperti telah diintrodusir, ada ide yang perlu diendapkan atau dimatangkan (mangga kale). Contoh, saya terpantik menulis, kenapa pembelajaran bahasa Inggris begitu susah bagi kebanyakan orang. Jawabannya, karena guru-guru mengajarkan tata bahasa dan seterusnya. Pembelajar seolah-olah akan dijadikan ahli bahasa (Inggris).

Pergilah ke Bali. Anak-anak ingusan atau pemijat, fasih berbahasa Inggris. Mereka tidak belajar formal perihal past tense, present, atau future. Langsung praktik, berkomunikasi barbahasa Inggris. Language is habit. Guru-guru berpeluh-peluh mengajarkannya di sekolah, uang pemerintah triliunan habis untuk itu, kemampuan berbahasa Inggris pelajar memprihatinkan. Begitu kenyataannya. Tulis?

Wow, bukan hal mudah. Simpan dulu. Dikaji dengan kondisi obyektif, dan, bla-bla. Bahasa lainnya simpan untuk disempurnakan. Pada saatnya tulis.

Lebih hebat dari itu, bila disapa ide, simpan. Tidak perlu diingat sebab akan muncul begitu saja suatu saat. Jadi? Kalau ide menyapa, kalau di pikiran muncul ide, simpan atau tulis di otak. Mudahkan?

Bagaimana menurut Sampeyan?

Share this

0 Comment to "Menulis (3.7) Menyimpan Ide"

Post a Comment