Saturday 17 December 2016

Menulis (6.7): Menulis Memupuk Senang

Ersis Warmansyah Abbas
MENULIS menuangkan pikiran. Kalau pikiran itu sendiri sedang ruwet manalah mungkin dituangkan, dituliskan. Kalau dipaksakan akan centrang-prenang. Pikiran yang siap ditulis, dibeking suasana hati, biar keren, ada yang menamainya mood, atau lebih tepatnya, in the mood. Tidak usah diperdebatkan mood suasana hati sementara yang akan dituliskan pikiran.
Kalau pikiran ruwet agak susah menulis. Walau, dalam praktiknya, keruwetan pikiran kalau ditulis malahan membuat kenyamanan. Karena itu lebih bagus melatih menulis dalam suasana apa pun. Seorang kawan mengeluh, menulis di blog atau FB, jarang dikunjungi. Kalau pun dikunjungi dan dikomentari, komentarnya sadis. Dia melakukan dua kesalahan dengan manajemen perasaan tidak positif.

Pertama, menulis ya menulis saja. Dalam bahasa saya, belajar, membelajarkan diri. Tidak dikunjungi orang terkarena belum ‘dikenal’. Kalau dikenal baru tahu rasa, bikin repot kalau tidak dinikmati. Dengan kata lain, nikmati menulisnya.

Kedua, komentar sesadis apa pun, jadikan masukan. Kalau tidak berkenan hapus. Hal sangat sederhana. Tetapi, dari aneka komentar itu kita belajar. Saya sering mendapat ide dari komentar. Orang Banjar bilang: Bawai tatawa ja. Atau ketawakan komentar miring tersebut, teruskan melatih menulis. Positifnya ambil, jadikan pemicu dan pemacu menulis.

Menulis dimaknai menyenangkan dan membuat senang. Kalau ada komentar tidak menyenangkan, jangan baca. Tidak dibaca berarti ‘melawan’. Meniru Gandhi, non-violent. Dengan demikian ‘senang’ diri terpelihara. Berpikir terbalik, kalau perasaan terganggu, tercapai maksud orang tidak menyenangkan? Kita rugi. Perasaan terganggu, menulis mentok. Tidak ada manfaatnya.

Dalam kapasitas belajar, apalagi dalam belajar menulis, bagaimana agar senang dan menyenangkan itu yang perlu dipupuk. Bacalah hal yang menyenangkan, kunjungi blog atau FB yang menyenangkan, nikmati tulisan yang menyenangkan, yang membangun kesenangan. Tentu, bukan asal senang. Senang positif, senang yang bermanfaat.

Saya pun sering menggoda dengan tusukan tajam. Tapi, sasarannya umum, pola umum. Tidak pernah pribadi. Kalau yang disasar pola umum ada yang tidak senang, bukan urusan kita. Begitulah dunia menulis, ada yang senang, ada yang tidak senang. Manusia itu berbeda-beda. Itu prinsip dasar.

Lebih baik, memelihara kesenangan. Kalau mendapat hal yang tidak disenangi, cuekin saja. Ibaratnya: Jangan menyimpan pakaian buruk, yang tidak bermanfaat di lemari kesayangan. Masyak yang disimpan wajan jebol? Simpanlah yang baik, yang bermanfaat. Mari pelihara hal-hal menyenangkan, menulis yang menyenangkan.

Bagaimana menurut Sampeyan?

Share this

0 Comment to "Menulis (6.7): Menulis Memupuk Senang"

Post a Comment