Ersis Warmansyah Abbas
MENULIS menuangkan pikiran. Kalau pikiran itu sendiri sedang ruwet manalah mungkin dituangkan, dituliskan. Kalau dipaksakan akan centrang-prenang. Pikiran yang siap ditulis, dibeking suasana hati, biar keren, ada yang menamainya mood, atau lebih tepatnya, in the mood. Tidak usah diperdebatkan mood suasana hati sementara yang akan dituliskan pikiran.
Kalau pikiran ruwet agak susah menulis. Walau, dalam praktiknya,
keruwetan pikiran kalau ditulis malahan membuat kenyamanan. Karena itu
lebih bagus melatih menulis dalam suasana apa pun. Seorang kawan
mengeluh, menulis di blog atau FB, jarang dikunjungi. Kalau pun
dikunjungi dan dikomentari, komentarnya sadis. Dia melakukan dua
kesalahan dengan manajemen perasaan tidak positif.
Pertama, menulis ya menulis saja. Dalam bahasa saya, belajar,
membelajarkan diri. Tidak dikunjungi orang terkarena belum ‘dikenal’.
Kalau dikenal baru tahu rasa, bikin repot kalau tidak dinikmati. Dengan
kata lain, nikmati menulisnya.
Kedua, komentar sesadis apa pun, jadikan masukan. Kalau tidak
berkenan hapus. Hal sangat sederhana. Tetapi, dari aneka komentar itu
kita belajar. Saya sering mendapat ide dari komentar. Orang Banjar
bilang: Bawai tatawa ja. Atau ketawakan komentar miring tersebut,
teruskan melatih menulis. Positifnya ambil, jadikan pemicu dan pemacu
menulis.
Menulis dimaknai menyenangkan dan membuat senang. Kalau ada komentar
tidak menyenangkan, jangan baca. Tidak dibaca berarti ‘melawan’. Meniru
Gandhi, non-violent. Dengan demikian ‘senang’ diri terpelihara. Berpikir
terbalik, kalau perasaan terganggu, tercapai maksud orang tidak
menyenangkan? Kita rugi. Perasaan terganggu, menulis mentok. Tidak ada
manfaatnya.
Dalam kapasitas belajar, apalagi dalam belajar menulis, bagaimana
agar senang dan menyenangkan itu yang perlu dipupuk. Bacalah hal yang
menyenangkan, kunjungi blog atau FB yang menyenangkan, nikmati tulisan
yang menyenangkan, yang membangun kesenangan. Tentu, bukan asal senang.
Senang positif, senang yang bermanfaat.
Saya pun sering menggoda dengan tusukan tajam. Tapi, sasarannya umum,
pola umum. Tidak pernah pribadi. Kalau yang disasar pola umum ada yang
tidak senang, bukan urusan kita. Begitulah dunia menulis, ada yang
senang, ada yang tidak senang. Manusia itu berbeda-beda. Itu prinsip
dasar.
Lebih baik, memelihara kesenangan. Kalau mendapat hal yang tidak
disenangi, cuekin saja. Ibaratnya: Jangan menyimpan pakaian buruk, yang
tidak bermanfaat di lemari kesayangan. Masyak yang disimpan wajan jebol?
Simpanlah yang baik, yang bermanfaat. Mari pelihara hal-hal
menyenangkan, menulis yang menyenangkan.
Bagaimana menurut Sampeyan?
0 Comment to "Menulis (6.7): Menulis Memupuk Senang"
Post a Comment