Ersis Warmansyah Abbas
Sejak mengenal facebook saya rajin membaca tulisan teman-teman, dan berusaha memberi komentar. Tulisan teman-teman menambah pengetahuan dan memperluas wawasan, dan komentar saya dinilai bagus. Tetapi, begitu menuliskan ide mandek. Kenapa?
KOMENTAR saya sengaja didramatisir. “Coy. Kamu paham bukan? Saya
memberi kuliah, memeriksa tugas kalian dan menilai, melakukan penelitian
dan pengabdian masyarakat sebagai tugas pokok. Kamu belum beristeri
bukan? Saya harus ‘bercengkerama’ dengan istri dan mendidik anak-anak.”
Tentu tidak lupa, sering menyajikan makalah, mengadakan seminar,
menerbitkan media cetak, memelihara kolam, dan seabrek lainnya. Tentu,
memerlukan pemikiran, energi, dan ingat … dalam sehari tersedia 24 jam.
Disela aktivitas tersebutlah menulis. Menulis bukan pekerjaan utama.
Tidak ada yang salah dengan komentar, berkomentar. Gara-gara masalah
yang diketengahkan kawan kita ini, postingan FB saya sengaja tidak
ngetag ke siapa saja untuk beberapa saat.
Hayya, kalau tidak di-tag nanti tidak ada pengunjung atau tidak
dikomentari. Tidak ada pengunjung, tidak ada komentar, ya biar saja.
Kalaupun ngetag tujuannya agar dibaca, dan Alhamdulilah bila bermanfaat.
Kita menulis bukan untuk diri saja. Ngetag dan saling berkomentar
adalah penghormatan dalam persahabatan menulis.
Dalam pandangan saya, komentar bagus sejauh bermakna komentar. Kalau
Raja Komen memang super hebat. Saya menandai betapa hebatnya seseorang,
begitu diposting langsung dijempolin dan dikomentari; bagus. Sejak lama
saya melatih diri membaca cepat dan menulis cepat, eit tidak apa-apanya
dibandingkan Raja Komen.
Hanya saja, dalam kaitan ”Kebiasaan Buruk Menulis” didiskusikan dalam
tinjauan berbeda. Berkomentar itu menulis lho; membaca sesuatu,
memahami, memutar ide tentangnya, dan menuliskan sesuai tujuan
berkomentar. Komentar cerdas yang biasanya dalam beberapa kalimat bisa
jadi lebih hebat dari tulisan itu sendiri. Komentar bersyukur bernada
bermanfaat sebagai bacaan. Komentar membunuh manakala dimaksudkan untuk
menikam. Ada juga pengikut aliran ini.
Melatih dan membiasakan berkomentar? Bagus. Pertanda perhatian,
apresiasi. Tetapi, ya tetapi, lebih bagus berkomentar dalam melatih dan
membiasakan menulis dalam arti merangkai ide, menganyam gagasan, dan
melontarkan pandangan. Artinya, mengemukakan pendapat sendiri.
Apa pun jadinya, komentar ada setelah adanya tulisan, setelah membaca
tulisan. Potensi mereka yang berkomentar potensi repons, merespon
tulisan. Mereka yang menulis melatih kemampuan berbuat, melakukan,
memproduksi tulisan. Posisi dan kedudukannya berbeda, Pertanyaannya:
memilih menjadi Raja Komen atau Raja Nulis?
Sisi lainnya, bisa buram, manakala kemampuan berkomentar (negatif)
berujung kepada —bisa-bisa melabelkan diri— sebagai kritikus. Puncaknya,
manakala mengkritisi, apalagi berhasil menyakiti penulis melalui
komentar atas tulisannya, dimaknai sebagi kehebatan. Pokoknya, kalau
berhasil menyakiti bangga luar biasa, merasa hebat dan
berjingkrak-jingkrak bak mendapatkan Piala Olimpiade. Ini penyakit
namanya.
Pada sharing menulis selalu saya tekankan, berkomentar, mengkritisi
itu bagus dalam ranah konstrukif. Artinya, membangun semangat, memberi
masukan, atau mahimungi agar penulis semakin giat (belajar) menulis.
Bukan, ya bukan membunuh semangat menulis. Yang terakhir biasanya
dilakukan oleh guru salah makna, guru salah tempat, atau iblis yang
kesasar menjadi guru.
Raja Komen OK, lebih OK melatih menulis dari pikiran sendiri. Sekali
lagi, komentar adalah respon atas tulisan (pikiran) orang lain. Menulis
produk pikiran yang memerlukan pengetahuan, keterampilan, me-manage
waktu sampai kondisi dan situasi sehingga mampu memproduksi tulisan.
Sesuatu yang dijauhi mereka yang enggan melakukan atau berbuat. Konon,
menembak dari atas pelana kuda lebih mudah.
Yaps, kembali ke inti soal, memunahkan kebiasaan buruk menulis, ya dengan menulis, menulis, dan terus menulis. Semoga.
Bagaimana menurut Sampeyan?
0 Comment to "Menulis (5.8) Raja Komentar"
Post a Comment