Saturday 14 January 2017

Menulis (4.7) Bumerang Menulis

SEBAL. Aborigin adalah penduduk asli Australia mempunyai senjata khas bumerang. Senjata berbentuk lengkung dari kayu tersebut, apabila dilemparkan dan tidak mengenai sasaran, dapat kembali kepada si pelempar. Perkataan atau perbuatan yang dapat merugikan diri sendiri disebut bumerang. Dalam menulis, bumerang dapat diartikan apabila ‘melontarkan’ sesuatu, kritikan atau hujatan, kembali kepada diri sendiri.
Mengkritik, tanpa dasar dan argumen, apalagi asbun, dipastikan kembali ke diri. Suatu kali, seorang petinggi kampus, entah atas dasar apa, mengistilahkan dosen yang rajin menulis di media cetak sebagai Dosen Koran. Seorang teman, karena sebalnya ke ubun-ubun, menulis artikel: Dosen Koran bermuatan kepositifan dosen menulis di media cetak.
Saya tertawa saja. Ada yang menyesalkan hal tersebut. Ada yang tidak memahami, kenapa petinggi mengucapkan hal tersebut. 
Seorang redaktur media cetak, marahnya luar biasa. Menulis di media cetak kok dikonotasikan negatif oleh petinggi kampus. Tidak semua petinggi kampus arif memang, apalagi dalam kaitan menulis. Dunia ini semakin aneh saja.
Saya mendamaikan hati teman-teman. Kasihan si petinggi. Mungkin saja dia tidak paham atau emosi. Ketika diminta mengomentari tidak bersedia. Merasa hebat dengan pikiran sendiri, menjadi bumerang. Simpati banyak orang kepadanya melorot. 
Sebagai ‘penulis kacangan’ saya pernah mengalami dimana tulisan menjadi bumerang. Hal tersebut mengirim isyarat dan peringatan agar berhati-hati menulis. Memilih tema, diksi, dan seterusnya. Cara bagusnya hindari gayutan emosi dan jangan menembak individu atau instansi tertentu. Kalau mengkritik sifatnya umum. Kecuali, faktanya sangat jelas dan demi pencerahan.
Ya, dalam menulis memang perlu menimbang-nimbang, soal pantas atau bukan, patut atau tidak. Tetapi, sejauh tidak mengganggu kelancaran menulis dan tidak melawan prinsip umum. Gara-gara terlalu berhati-hati menulisnya tidak menjadi tentunya tidak konstruktif.
Bumerang menulis adalah risiko apabila segala sesuatu sudah diperhitungkan. Jangan pula gara-gara takut risiko menulisnya dikhatamkan. Tidak elok itu. Hidup ini adalah risiko. Pandai memperhitungkan risiko disitulah kelebihan manusia dari manusia lainnya.
Pesan yang hendak disampaikan, hati-hatilah menulis sesuatu, apalagi kalau sampai melibatkan emosi. Kalau menjadi bumerang, yang terkena diri sendiri. Tetapi, jangan takut risiko menulis. Tidur pun ada risikonya. Kalau menulis salah misalnya, penulis mempunyai kesempatan untuk memperbaiki. Kalau tidak menulis apa yang mau diperbaiki? Artinya, menulisnya yang diutamakan.
Bagaimana menurut Sampeyan?

Share this

0 Comment to "Menulis (4.7) Bumerang Menulis"

Post a Comment