Saturday 14 January 2017

Menulis (4.5) Ahimsa Menulis

TABU. Mahatma Gandhi pejuang cerdas dan tangguh Tanah Hindi nampaknya melihat, perjuangan kehidupan adalah perjuangan kemanusiaan, dan bahkan perikebinatangan. Sesama makhluk Sang Mahapencipta jangan menyakiti, apalagi membunuh. Menggunakan kekerasan tabu. 
Gandhi anti penjajahan. Namun, dalam melawan penjajah bukan dengan kekerasan, non-violence. Tidak bekerjasama dengan penjajah. Inggris merancah ekonomi anak Benua India dengan landas pikir kolonialisme. Kata Gandhi, jangan beli produk Inggris, tenun sendiri baju yang hendak dipakai. 
Menulis menuangkan pikiran, menumpahkan perasaan, menyampaikan pesan, kejengkelan maupun kegembiraan.  Setidaknya, bermuatan dua hal. 
Pertama, bisa jadi penulis adalah orang-orang egois dalam arti menyambungsampaikan apa yang dipikirkannya. Bahkan, terkadang tanpa mempertimbangkan yang di luar pikirannya.
Kedua, ketika mengeluarkan ‘isi perut’, penulis cenderung menggurui; benar menurut pikirannya. Itulah sebabnya, sebelum menulis seyogyanya penulis mencapai tingkat kematangan tertentu hingga tulisannya arif. Pada kasus tertentu, menulis bisa jadi, kekerasan itu sendiri.
Perhatikan, tulisan-tulisan atau karya tulis yang menghukum, selain pendapat tidak diberi tempat. Seronok (menyenangkan hati) adakalanya hanya untuk memuaskan diri. Pada tingkat jahiliyah, tulisan dimaksudkan untuk menyakiti orang lain.
Tentu, saya tidak terlepas dari hal-hal sedemikian. Itulah yang dimaksud berguru pada diri sendiri, introspeksi. Membaca tulisan sendiri akan melihat diri sendiri, tulisan adalah kaca diri. Tulisan yang menyerang, terutama menusuk pribadi dihindarkan. Sebab merugikan diri dan orang lain. 
Kalau ada yang menyulang: Tulisan Ersis sering menohok. Bisa jadi. Tetapi, harap diingat, sifatnya umum. Misalnya menyerang kemalasan menulis. Kalau ada yang malas menulis dan dia terkena, bukan dia yang disasar, namun karena masuk gejala umum tersebut kelakuannya terikut. Itu soal lain. Tentu bagus kalau karena itu adrenalin menulis terjaga.
Menulis mengeluarkan pikiran adalah kemampuan menulis dasar. Menulis bukan sekadar menulis kata, tetapi menulis lebih bermakna. Menulis bermakna merupakan aplikasi dari tingkat menulis yang bukan sekadar mengetik. Karena saya dalam dalam status belajar, berbasis ahimsa mengajak memasihkan menulis menuju menulis bermakna.
Menulis kita jadikan bukan ajang menyakiti sesama. Sekali lagi, untuk membangun jiwa-jiwa; manusia yang manusiawi. Napoleon pernah mengatakan: “Aku lebih takut kepada sebatang pulpen (tulisan) dari 1.000 tentara”.  Tulisan memang bisa begitu ganas. Konon, lebih tajam dari pedang. Tetapi, sebaiknya menulis bukan untuk kekerasan.
Apa yang kita tulis landaskan kepada Risalah Rasulullah, Firman Allah SWT dalam balutan nilai-nilai luhur kemanusiaan. Menulis membangun kepribadian, membangun diri, membangun kepribadian tanpa kekerasan. Ahimsa menulis, tidak salah bukan?
Bagaimana menurut Sampeyan?

Share this

0 Comment to "Menulis (4.5) Ahimsa Menulis"

Post a Comment