Friday 13 January 2017

Menulis (2.7) Otak ”Sang Saksi Abadi”

SAKSI. Believe it or not, kehidupan di dunia ada akhirnya. Bagi mereka yang percaya akan keabadian, kehidupan di dunia fana inilah yang menentukan kehidupan di akhirat. Apa pun lakuan manusia dicatat. Terlepas, dilakukan malaikat, konon, bagian-bagian tubuh fana yang menjadi dalam ‘jiwa’ kelak yang akan dihadapkan di Mahkamah Akhirat. Gambaran ‘ngawurnya’ dapat dipindai pada cerpen berikut.

MAHKAMAH TAK BERBIAS
SILBI sungguh kaget. Tiba-tiba dia berada di ruangan serba putih. Lantai, dinding, plafon, meja, bangku, dan benda-benda di ruangan tanpa pintu dan jendela tersebut berwarna putih. Darahnya terkesiap ketika memandang pakaiannya yang hitam. Kontras dengan ruangan menawan tersebut. Ada satu lagi yang hitam, sebuah kursi. Terletak diantara meja panjang di depan dan deretan seratusan kursi di belakang.
“Duduk”. 
Silbi tidak sempat kaget sebab kakinya otomatis melangkah. Sebenarnya hendak mencerna apa yang terjadi, apa daya, kakinya tidak mau kompromi. Dalam persekian detik dia terduduk. Begitu pantatnya menjejak bantalan kursi, belenggu tangan yang terkait di kursi mencengkeram, begitu juga kakinya. Silbi betul-betul tidak paham apa yang sedang terjadi.
Apalagi kedua pengawal yang menggiring ke ruang serba putih tersebut mendatangkan takut tidak terkira. Jangankan tersenyum, tatapan matanya langsung ke hulu hati membuat ngeri mencapai puncaknya. Silbi sungguh tidak tahu berada dimana, dihadirkan oleh siapa, hendak diapakan, atau sedang dalam upacara apa. Bingung.
Dalam kebingungan teramat sangat, entah datang dari mana, di meja di depannya telah duduk empat orang berpakaian serba putih. Padahal ruangan tersebut tanpa pintu dan jendela. Badannya tinggi besar, berjanggut tebal memutih dengan tatapan berwibawa. Dan, entah mengapa, Silbi seolah-olah melihat kursi-kursi di belakang telah terisi. Padahal, jangankan menoleh, menggerakkan leher saja tidak bisa. Silbi duduk terpaku dengan pandangan lurus  ke depan. Apakah ini ruang pengadilan?
Silbi mengumpulkan ingatannya. Rasa-rasanya, kemarin dia sedang bercengkerama dengan istri dan anak-anaknya. Kebetulan anak tertuanya baru kembali belajar dari luar negeri dan mengatakan segera akan ke luar negeri lagi untuk bekerja. Yang membuat Silbi tidak bisa bernafas anak tertuanya tidak mau menerima bantuan.
“Okelah, kalau kamu tetap bersikeras ke luar negeri. Memang di negara kita gaji belum memuaskan orang sekalibermu. Tetapi, kenapa menolak bantuan Bapak? Kamu perlu bekal di negeri orang”, Silbi berkata meyakinkan.
“Saya bisa mencari uang. Terima kasih atas perhatian Bapak”, jawab Dakas, anaknya setengah cuek.
“Bagus itu. Tapi, Bapak tidak mau kamu sengsara di rantau orang. Bagaimana kata dunia kalau anak seorang petinggi terlunta-lunta. Kamu jangan membuat malu Bapak”.
“Saya tidak mau. Berapa gaji Bapak sebulan? Dari mana Bapak mendapatkan uang untuk membeli rumah megah ini? Bagaimana Bapak bisa membeli apartemen di Singapura, Hongkong, dan Hollywood?”
Tanpa memberi kesempatan Dakas melanjutkan: “Dari mana Bapak mendapatkan uang yang didepositokan bermilyar-milyar tersebut? Cukup sudah perbuatan Bapak. Maaf, saya tidak mau menanggung beban Bapak kelak di kemudian hari”.
Jawaban Dakas membuat darah Silbi menggelegak. Sekujur badannya bergetar dan sembari bergerak mencengkeram leher Dakas. Amarahnya menghasut agar membunuh darah dagingnya. Anak tidak tahu diuntung. Dari kecil dibesarkan, disekolahkan ke luar negeri, begitu kembali mengumbar kata-kata bengis. Dakas, betul-betul menimbulkan amarah bapaknya Silbi.
Tetapi, dada Silbi terasa sakit. Lalu, badannya terasa ringan, melayang. Terlihat istrinya meraung menahan badan seseorang yang hampir roboh. Anconomis, Jamdun, Kandato, Bangbir, anak-anaknya menangis sekeras-kerasnya. Dakas juga menghampiri seseorang itu. Begitu juga keponakan dan seisi rumah. Tetangga pun berdatangan. Sekali lagi, dipandanginya dalam-dalam. Oh, seseorang itu mirip dengannya. Silbi heran, kenapa mereka menangisi orang yang mirip dirinya? Lalu, Silbi tidak tahu apa-apa. Melayang ke dunia tanpa rasa.
***
“Berapa gaji Saudara sebulan?”, Silbi kaget sembari menatap orang pertama di meja depan yang menanyainya.
“Empat juta enam ratus ribu ditambah tunjangan dua juta delapan ratus ribu.” Silbi merasa tidak menjawab tetapi jawaban itu terasa keluar dari dirinya.
“Pengeluaranmu sebulan?”, tanya orang kedua.
“Sembilan juta rupiah”, lagi-lagi keluar jawaban otomatis padahal dia sedang berpikir untuk memberi jawaban. Kali ini rinci dari biaya rumah tangga, telepon rumah, HP, sampai biaya perselingkuhan dengan bendaharanya. Detail.
“Apakah Saudara mempunyai penghasilan selain itu”, tanya orang ketiga.
“Tidak. Saya tidak punya keahlian lain yang mendatangkan penghasilan”, lagi-lagi jawaban otomatis.
“Dari mana Saudara mendapatkan uang untuk membeli apartemen di Singapura?”, tanya orang keempat yang nampaknya lebih ganas. Dalam hati Silbi mau mengibuli penanya. Mana tahu tengah bermimpi saja.
“Sogokan dari pengusaha Brutrus ketika menangani proyek rekonstruksi korban gunung berapi”, tiba-tiba suara nyaring terdengar dari belakang. Ternyata yang berbicara Brutrus.
“Rumah yang di Hongkong dan Hollywood duitnya dari mana? Tidak masuk akal saudara membeli apartemen di kompleks selebriti dunia tersebut sebagai PNS”, tanyanya tidak memberi ampun.
“Proyek pendidikan”, kali ini Jadas, pemborong yang ditunjuknya menjawab tanpa kasihan memapar keculasan Silbi. Bahkan ditambahkannya: “Ada bangunan sekolah yang tidak pernah berdiri.”
Lalu Silbi dicecar berbagai pertanyaan, tentang kebijakannya yang tidak memihak publik, tidak menyekolahkan dan memberdayakan staf cerdas, menghambat promosi staf pintar berselimut alasan yang dicari-cari. Jangankan memajukan lembaga, menjadikan WC-WC di kantor agar bersih saja tidak mampu sekalipun WC di ruangannya berbatu pualam.
Dan, jawaban yang benar selalu diutarakan mereka yang duduk di kursi belakang. Tidak ada yang meleset. Persis sebagaimana adanya.
“Saudara Silbi”, orang pertama bertanya dengan anggun. “Tugas saudara membangun kualitas sumber daya manusia, membangun bangsa, begitu bukan?”
“Ya”, kali ini Silbi menjawab tanpa diintervensi. Rupanya kalau dijawab jujur tidak ada intervensi jawaban otomatis.
“Bagus. Tetapi, mengapa saudara bisa mempunyai harta melimpah sementara lembaga yang saudara pimpin serba kekurangan. Sekolah-sekolah di dekat rumah saudara hampir roboh. Padahal tanggung jawab saudara. Saudara tidak pantas mendapatkan semua itu. Gaji saudara tidak cukup untuk itu.”
Belum sempat menjawab dilanjutkannya: “Saudara merasa telah berbuat demi memajukan bangsa bukan?” Pertanyaan yang menghujam ulu hati. Pertanyaan yang tidak mampu mendorong daya pikirnya untuk berpikir.
“Padahal, saudaralah yang menyebabkan bangsa saudara sebagai bangsa pecundang. Pendidikan memerlukan kontribusi, saudara menggaruk harta berlimpah dari pendidikan. Terlaluuuuuu. Saudara menyalahgunakan amanah”.
Kini, pertanyaan dijawab Silbi dengn jujur. Kalau berdusta pasti ada intervensi. Silbi sadar, ketika mencoba berdusta, ketika ditanya kenapa pergi ke negara Ceko menghadiri pertemuan astronomi internasional padahal bidang keahliannya pemerasan susu kuda, dari belakang datang bantahan, dari Prago yang ahli astronomi. Silbi tidak mengirim Prago karena dia tahu Prago lebih pintar. Silbi akhirnya pasrah. Pasti sudah, percuma berdusta.
Akhirnya, muncul pikiran jernihnya, mengapa tidak menyekolahkan staf, mengapa dia menjadikan nafsu mengumpulkan harta sebagi hobi utama, bukankah kalau digunakan untuk membangun sekolah, rumah, mobil, dan depositonya bisa membangun beratus-ratus sekolah? Buat apa memakai parfum Paris kalau got-got di lingkungan busuk. Sebagai pemimpin tidak mengembangkan potensi bawahan, tetapi menyedot energi mereka untuk diklaim menjadi kemampuannya.   
Dulu, kalau berdusta selalu mulus. Ada memang anak buahnya yang tahu, tetapi tidak seorang pun berani ‘bernyanyi’. Kalau ada, bertimbun-timbun sanksi telah tersedia. Tidak jarang dia menyuruh para punggawa melakukan pembunuhan karakter kepada siapa saja yang mencoba berbuat lebih maju darinya.
Kini, dengan sistem jawaban otomatis dari dirinya, tidak bisa berbuat apa-apa. Sedikit saja berdusta, saksi-saksi membantah. Alhamdulillah, untuk pertama kali Silbi menjadi orang jujur. Kejujuran yang telah ketinggalan kereta.
Atas kejujuran dadakannya, Silbi divonis bermukim di neraka jahanam. Tetapi, ketika palu akan dipukulkan, tiba-tiba seseorang berpostur hitam tinggi bertampang seram maju ke depan.
“Tunggu dulu”, katanya lantang mengumbar marah.
“Saya tidak setuju”, katanya dengan ekspresi kebengisan.
Orang ke dua merespon. “Hai Iblis, kenapa kamu tidak menerima Silbi sebagai teman? Bukankah tugasmu merayunya agar mempunyai teman yang kekal di neraka jahannam?”
“Tidak bisa. Memang dia binaan saya. Tetapi dia kurang ajar”, jawab Iblis dengan garang.
“Apa masalahnya”, timpal orang ketiga.
“Makhluk ini keterlaluan. Jangan-jangan dia bukan turunan manusia. Dia menerima saranku melakukan kecurangan, memperkaya diri,  serakah, menari-nari di atas derita anak bangsanya.”
“Berarti kamu sukses. Bujuk rayumu berhasil. Selamat.”
“Tidak. Tidak sama sekali. Sebagai guru, sebagai pembina, aku kecewa berat. Sungguh sangat kecewa”. Iblis berhenti sejenak sembari mengendalikan kemarahannya.
“Bayangkan. Ketika dia ke Tanah Suci, tega-teganya melempari aku ketika melempar Jumrah. Sesama bis kota saja tidak etis saling mendahului. Keiblisannya melebihi kemampuanku. Aku tersinggung berat. Jangan masukkan dia ke neraka. Aku tidak mau disaingi.*)
****
*) Diadopsi secara kreatif dari guyonan Amien Rais saat berceramah di FISIP Unlam, 16 September 2006.

Share this

0 Comment to "Menulis (2.7) Otak ”Sang Saksi Abadi”"

Post a Comment