Friday 13 January 2017

Menulis (3.4) Membunuh Potensi

DOKTOR. Malam itu saya dikagetkan dengan kedatangan teman, dosen PTN berpredikat akademis Doktor. Saya mempersilakannya duduk sembari menyelesaikan tulisan. Istri menyuguhkan kopi dan kami ngopi bareng. Dia tidak sabar. Nyerocos betapa tulisannya ditanggapi gegap gempita rekan-rekannya di kampus. Sampai disidang segala dan emosinya ikut ”bicara”. Kursi ditendang, meja digebrak. Gubrak. Asyiiiik.
Dia menulis tentang kekurangsuksesan penelitian yang dilakukan rekan-rekannya. Meradanglah yang dikritik. Saya sempat berpikir, tulisan dibalas dengan tulisan dong. Seharusnya begitu logika kaum intelektual.
Ketika dia mengatakan akan mengajukan ke polisi, tanpa menyadari haknya, langsung dilarang: “Buat apa? Kekuatan akademik justru pada perbedaan dalam mencari solusi paling pas. Kalian harusnya memberi contoh.” Dia terpana.
Akhirnya dia setuju tidak mempersoalkan.  Pesan yang ditancapkan: “Sampeyan jangan bunuh diri gara-gara ‘dihajar’. Terus menulis. Mari jadikan pembelajaran. Saya pernah mengalami hal lebih sadis. Mari belajar dari kejadian.”
Bagi penulis pemula yang mentalnya kurang kuat, tendangan pihak lain bisa mendebarkan kalaulah tidak dapat dikatakan membunuh kehendak menulis. Bayangkan, susah payah membaca literatur, membolak-balik kamus, merangkai kata, memilih diksi, e dihajar. Mana tahan.
Yang ingin saya sampaikan, pada dasarnya bukan orang lain yang membunuh, tetapi diri sendiri. Kog iso? Lha, yang menulis siapa? Yang menghentikan atau tidak menulis siapa? Yang bermental buih siapa? Diri sendiri bukan?
Sebaliknya, ada pepatah: Semakin tinggi pohon, semakin digoyang angin, akarnya semakin kuat. Memperkuat diri dengan kritik dan hajaran orang. Menulis, tepatnya membiasakan menulis, ibarat belajar bersepeda. Pertama kali menaiki sepeda bisa jatuh. Memulai mengendarai, bisa-bisa berakibat tumit luka karena belum paham keseimbangan. Karena kemauan keras, tetap saja belajar. Dan, bisa dengan gagah bersepedaria. 
Begitu juga menulis. Ingat hanya sedikit orang yang tulisan pertamanya langsung dimuat media. Banyak yang puluhan, bahkan ada yang ratusan tulisan dikirim baru dimuat.  Artinya, dalam (belajar) menulis ada tahap—tahapannya. Tidak bisa langsung OK. Bukan sim salabim. 
Pada proses demikian pada pembelajaran diri bukan menulisnya saja yang difasihkan, tetapi penguatan mental tidak kalah penting. Terampil dengan mental kerupuk, ya tetap saja pengecut, dan kemudian beralasan.
Sekali lagi perlu ditabalkan, menulis bukan andai-andaian atau lamunan yang berkutat teori. Menulis melakukan, menulis kenyataan, guru itu sendiri. Manakala tulisan menjadi, langsung bisa mendeteksi, tulisan itu bagus apa tidak? Kalau berteori, berangan-angan, akan menulis ini-itu, dijamin susah menjadi penulis. 
Menghadapi kenyataan balikan menulis banyak orang yang kurang tangguh. Digoyang angin lembut saja tumbang. Kalau angin puting beliung menerpa, bisa-bisa hancur-lebur. Patah semangat. Lalu, menganggap diri bodoh, tidak berbakat, suasana tidak kondusif, dan bla-bla. Padahal, kesemua itu alasan. Pembenaran karena jiwa rapuh.
Akibat lanjutnya, alasan-alasan dijadikan palu godam memvonis, tidak mampu menulis. Keinginan menggebu-gebu, semangat belajar dibunuh, terjadi pertentangan batin. Stres. Terus, bunuh diri, eit membunuh potensi menulis. 
Kalau demikian ceritanya, pantas saja menjadi pecundang. Kalau berkemauan keras menulis segala penghalang dijadikan tantangan. Terjaaaaaaaaaaaaaaang. Nikmat menulis akan diperdapat setelah mampu mengatasi masalah.
Tulisan ini diakhiri dengan pesan, jangan pernah membunuh potensi menulis, dan jangan pernah menulis untuk membunuh potensi menulis. Menulislah demi mengembangkan potensi menulis. 
Bagaimana menurut Sampeyan?

Share this

0 Comment to "Menulis (3.4) Membunuh Potensi"

Post a Comment