Friday 13 January 2017

Menulis (3.3) Melawan Diri

BERLATIH. Alkisah seorang yang sangat berkeinginan menulis bersemangat sharing: “Pak, saya betul-betul ingin menulis, menjadi penulis.” Agar terkesan lebih sungguhan ditambahkannya: “Ingin produktif menulis seperti Bapak”.
Wualah-wualah. Saya kerjain habis. Tidak mungkin, kata saya. Kalaupun keinginan sangat kuat saya ragu. Jarang orang yang mampu melewati etape ‘melawan diri’. Menulis bukan akan, tidak tancapan niat atau bayangan angan-angan. Menulis itu melakukan bukan berwacana. Menurut saya Sampeyan terbiasa berargumen, bukan melakukan. Jadi, sulit untuk menjadi penulis.
Merah padam mukanya. Badannya bergetar. Mana saya mau peduli. Belum tahu dia saya sedang membangkitkan harga dirinya yang dilipat dan dipurukkan, sadar atau tidak. Ibarat Lionel Messi, setelah perasaan teraduk-aduk, tendangan ke gawang, tendangan pamungkas dihujamkan. Dan, tentu saja ... goaaaaaaaaaaall
Mas, kalau mau menjadi penulis Sampeyan harus merubah mindset. Buang jauh-jauh ‘filsafat akan’; akan menulis anu, menulis ini, menulis unu, dan menulis ene. Lakukan menulis sekarang. Now.
Setelah emosinya mereda, pikirannya normal ditawarkan solusi, dihadiahi resep. 
Pertama, mengakui bodoh. Menulis apa yang diketahui. Orang-orang bodoh dalam menulis merenung berjam-jam, bermalam-malam, bertahun-tahun apa yang tidak diketahui. Lucu. Tahu saja tidak, bagaimana  menuliskannya. 
Kedua, kosongkan pikiran, baik ketika membaca, mengamati, dan menulis. Kosong dalam pengertian fokus terhadap apa yang ditulis. 
Ketiga, apa pun yang terjadi, menulis jangan berhenti sebelum selesai. Banyak orang, menulis satu-dua alinea berhenti. Besok begitu lagi. Saraf-saraf dilatih bekerja tidak tuntas. Akibatnya, saraf ketidaktuntaskan semakin kenyal.
Keempat, menulislah dari dalam diri. Enyahkan hal-hal di luar diri. Dalam latihan menulis, hal-hal ideal itu bayangan. Kemampuan kita diri kita, bukan karya orang. Semua itu pedoman. Betapa dongoknya meamsal diri seperti HAMKA, wong baru belajar.
Kelima, sadari apa yang dimiliki diri sekian nolnya di depan koma. Karena itu perbanyak membaca, mengamati, olah pikir, dan seterusnya.
Keenam, pastikan menulis yang dipahami. Jangan menulis yang tidak dipahami. Menulis sesuai kemampuan.
Ketujuh, gunakan otak jangan perasaan. Banyak orang merasakan tulisannya jelek. JK Rowling dan Dan Brown ketika menyerahkan naskahnya ke penerbit ditolak. E, ternyata disukai khalayak.
Tugas seorang penulis ya menulis. Tulisan cerminan diri, gambaran pemikiran. Menulis melawan diri.  Kalau menulis dipahami sebagai proses membelajarkan berarti melawan diri, melawan ego, melawan malas, melawan alasan, melawan ketidakpercayaan diri, melawan malu. Melawan, melawan, dan melawan agar diri tidak perlu lagi dilawan, tetapi ‘dibesarkan’ dengan tulisan. 
Jadi. menulis bukan akan menulis, tetapi melakukan, ya menulis. Tulisan menjadi karena lakuan, pikiran yang ditulis. Kalau ‘filsafat akan’ masih bersemayam, dalam bahasa agamanya, bertaubatlah. Taubat dan beralih menjadi melakukan.
Bagaimana menurut Sampeyan?

Share this

0 Comment to "Menulis (3.3) Melawan Diri"

Post a Comment