Saturday 7 January 2017

Menulis (1.0) Menulis di Otak, Menulis Sesungguhnya

MENULIS. Bukan bermaksud bersombong-sombong atau sok hebat, sesungguhnya, tidak sedikit pertanyaan diajukan sembari terheran-heran, kenapa saya begitu doyan menulis? Apakah tidak pernah kehabisan ide? Bagaimana memanfaatkan waktu? Dan, ini yang lebih penting, apa sih manfaat menulis? Kalau dilanjutkan, bukankah menulis itu berisiko? Dan, berbagai pertanyaan seputar menulis. Jangankan menjawab, mempertanyakan saja tidak pernah. Sederhananya, menulis saja begitu.

Bukan apa-apa. Kalau dipikir-pikir, pada awalnya menulis kiranya lebih kepada memenuhi kehendak menulis. Menulis memotivasi sampai berbagi didapat setelah menulis banyak hal. Saya berkesusahan menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Masalahnya, bagaimana menerangkannya. Kebiasaan saya, apabila membaca, melihat, mendengar atau meraba sesuatu ada saja ide yang ‘menari-nari’ di kepala. 

Kalau sudah demikian, apa yang pantas ditulis, ditulis saja. Bukan puluhan, tetapi ratusan, bisa pula ribuan tulisan telah ditulis. Biasanya, begitu selesai menulis sesuatu, terbiar saja. Kecuali, tulisan untuk jurnal atau laporan penelitian, tulisan ilmiah sebagai cum untuk naik pangkat sebagai PNS. Ketika ingat tulisan di Kompas, Pelita, Sinar Harapan, Suara Pembaharuan dan sebagainya repot sendiri.

Menulis di media cetak, blog, atau FB dan menyusunnya di file komputer menjadikan tulisan terdokumentasikan. Tulisan-tulisan tersebut disiangi menjadi naskah buku. Selanjutnya, menulis dalam format buku dan mempublikasikannya. 

Sebagai dosen di PTN tentu menuntut banyak hal yang harus ditulis. Mulai dari bahan kuliah, laporan penelitian, laporan pengabdian kepada masyarakat, atau keperluan untuk naik pangkat (cum). Selain itu makalah untuk seminar atau pendidikan dan latihan (Diklat).

Karena hobi bepergian saya menuliskan pengalaman tersebut. Sering pula diminta tolong menuliskan naskah pidato, visi-misi, aneka tulisan untuk beragam keperluan. Konyolnya, ada yang minta dibuatkan surat, puisi, sampai artikel. Kalau yang begituan diabaikan.

Pembaca yang terhormat. 
Sedari kecil otak kita menimbun informasi. Kita mendapatkan pendidikan di keluarga, di sekolah, dan di kehidupan nyata; sepanjang kehidupan menghimpun informasi. Kita membaca, mendengar, melihat, mencium, merasakan, dan otak menumpuk, memproses, dan menyimpannya di memori.

Dalam pada itu, dalam kerangka memotivasi menulis dengan apungan: menulis mudah, tulis apa yang hendak ditulis, tulis apa yang ada dipikiran jangan memikirkan apa yang akan ditulis, menulis tanpa berguru, diri adalah guru sekaligus murid menulis, dan seterusnya, agar daya gugahnya kuat, diaplikasikan terlebih dahulu dengan lakuan menulis. Alhamdulillah, kini banyak teman sharing yang telah menerbitkan buku.

Tulis apa yang hendak ditulis, jangan pikirkan selain apa yang ditulis panah sasarannya, membiasakan menulis, memasihkan menulis. Kiranya tahap tersebut sudah saatnya dilewati dan menulis beranjak kepada menulis berkualitas. Karena itu, sajian tulisan dalam buku ini bukan hanya motivasi agar menulis saja, tetapi berisian menulis berkualitas, setidaknya agar tulisan berkualitas.

Menulis dalam kerangka meningkatkan kualitas tulisan, tidak hanya terfokus pada ‘menuangkan’ apa yang ada di pikiran, tetapi bermuatan kiat-kiat meraup informasi, memproses, dan mengeluarkannya dengan cara benar dan baik. Kualitas tulisan sebagai penanda tingkat menulisnya lebih tinggi.

Penekanan sebagai sangu menulis, perlu disadari, ketika kita meraup informasi, disadari atau bukan, disengaja atau tidak, pada dasarnya kita menulis, menulis di otak. Informasi yang diperdapat bukankah ditulis memori? Mendapatkan informasi sepanjang kehidupan dan menyimpan di memori itulah yang saya istilahkan, menulis di otak.

Istilah menulis di otak lebih kepada proses menulis, rangkaian aktivitas otak (pikiran) sedemikian rumit, dan ketika dituangkan dalam bentuk tulisan dikerdilkan menjadi mengetik. Bisa jadi, proses menulis (mengetik) bersamaan dengan proses mengolah pengetahuan di otak, tetapi menulis mudah diartikan sebagai tindak menyalin, menuliskan pikiran. Begitulah, sebelum kita menulis secara konvensional (mengetik) kita telah menulis di otak. Apa-apa yang telah ditulis di otak itu yang kita tuliskan dalam arti mengetik.

Menulis di otak dalam arti menginput informasi atau pengetahuan, manakala kita sadar betapa pentingnya arti informasi yang benar, tidak dapat tidak, haruslah menginput informasi secara benar, jelas konsepnya pasti pengertiannya sehingga yang kita simpan adalah kepastian. Begitu juga ketika diproses dilakukan secara benar dengan logika yang benar dan disimpan secara benar. Sehingga, ketika dikeluarkan (ditulis) bukanlah menjadi sesuatu yang sulit, tetapi ready for use.

Kiranya, tidak sedikit kita membaca tulisan dengan kalimat tidak logis. Saking banyak contohnya, 
sampai-sampai kita tidak paham apa yang dimaksudkan penulisnya. Saya sering menggoda mahasiwa membuat kalimat pengantar pada skripsinya: Dengan mengucapkan puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, selesailah skripsi ini ditulis. Ajaib. Hanya dengan mengucapkan puji syukur, penulisan skripsi selesai. Luar biasa tidak logisnya.

Banyak, sangat banyak hal sedemikian. Jika Sampeyan berprofesi redaktur atau pemimpin redaksi media cetak yang harus mengedit tulisan yang akan diterbitkan tentu paham betapa banyak orang yang membuat kalimat sesukanya tanpa memperhatikan kelogisannya. 

Formula Ersis Writing Theory (EWT), sejatinya bersandar pada kaidah kebenaran dalam arti, benar meraup informasi (pengetahuan), mengolahnya secara benar di ranah pikir, dan benar ketika merekam di memori alias menulisnya. Itulah fundamen menulis di otak. 

Tidak dipungkiri, level dasar EWT menggeber menulis apa yang hendak ditulis. Buku Menulis Di Otak pengembangan lanjutan dalam arti peningkatan kualitas tulisan, menulis berkualitas. Bukan tidak mungkin, miliaran gigabyte pengetahuan tertulis di otak, terekam pada memori. Lalu, mau diapakan? Jangan-jangan membuat otak hang. Padahal, kalau dituliskan bisa bermanfaat bagi sesama. Dalam pemahaman keagamaan, bisa jadi menjadi ladang amal.

Buku ini tetap pada posisi memotivasi, hanya saja ‘tusuknya’ lebih kuat dalam meningkatkan kualitas tulisan. Tidak syak lagi, manakala berkehendak memahami menulis sebagai sesuatu yang mudah dan menyamankan, dan berkeinginan meningkatkan kualitas tulisan, membaca buku ini bukanlah kerugian. Mari nikmati halaman-halaman berikut diiringi lakuan menulis, menulis di otak.

Bagaimana menurut Sampeyan?

Share this

0 Comment to "Menulis (1.0) Menulis di Otak, Menulis Sesungguhnya"

Post a Comment