Sunday 15 January 2017

Menulis (5.1) Pendidikan Tanpa Otak

TENGKORAK. Membaca buku-buku tentang otak, sungguh saya merasa rugi, kenapa tidak dari dulu. Bukankah pembelajaran lebih menggunakan otak dari bagian tubuh lainnya? Menggunakan otak tanpa diketahui A-Znya. Otak adalah: benda putih yang lunak terdapat di dalam rongga tengkorak yang menjadi pusat saraf (KBBI, 1988: 631).
Otak berarti pula alat berpikir, atau pikiran itu sendiri. Orang gila, berpikirnya gimana gitu, dikatakan tidak berotak. Dalam makian, kalau rada-rada bego, dikatakan berotak udang. Udang binatang yang otaknya tahi. Kalau pemangsa, eh ... maaf, pemakan terasi (acan), kalau dibuat dari kepala udang, hati-hatilah. 
Otak alat berpikir berian Allah SWT berkapasitas tidak terbatas. Albert Einstein, si jenius itu, ditulis baru memakai 3% kapasitas otaknya.  Bagaimana dengan saya yang tidak menghasilkan apa-apa? Jangan-jangan termasuk yang otaknya perlu diawetkan demi pengembangan peradaban kelak.
Saya marah dengan lelucon tentang orang Indonesia dan otak. Kalau orang Indonesia jatuh dari sepeda motor, kepalanya terhempas di aspal, bakalan tidak apa-apa. Kalau dengkulnya kejetok kaki meja, baru perkara serius. 
  Seseorang pernah tersinggung berat ketika seorang membuat joke tentang orang Amerika, Jerman, Israel, dan Indonesia. Di ruas jalan bebas hambatan terjadi kecelakaan beruntun. Sebuah rumah sakit membutuhkan otak untuk ditransplantasi. Begitu diperiksa, otak orang Amerika, Jerman, dan Israel, ditolak. Barulah pada orang keempat, dokter OK punya. Alasannya, otak ketiga orang tersebut sudah aus, kalau yang terakhir masih gress, belum dipakai. Brengsek.
Ya, banyak diantara kita ‘menidurkan’ otak, tidak maksimal memanfaatkannya. Bagi yang merasa memanfaatkan maksimal, tidak usah membaca tulisan ini. Sebagai orang yang belajar sampai ke PT, dalam ingatan, sedikit guru yang menyenggol-nyenggol soal otak. Guru kurang memberi informasi tentang otak, apa itu otak, sistem kerjanya, bagaimana merawat, merangsang atau memberi nutrisi sampai memaksimalkan fungsinya. Pendidikan berjalan dengan iramanya, alat yang dipakai untuk belajar, tidak diketahui sama sekali.
Pokoknya, pakai, belajarkan, paksa, isi penuh. Apalagi, menjelang ujian, jejar sebanyak-banyaknya dengan materi tanpa mempedulikan otak itu perlu asupan gizi, perangsang, atau refreshing. Ngak ngerti sih cara kerja otak. Kasihan anak didik. 
Ada orang tua yang tega memaksa anaknya belajar siang-malam, kursus ini-itu. Tidak paham bahwa otak itu juga manusia, eh maksudnya otak perlu istirahat, santai, rehat, dan disenang-senangkan. Pendidikan ‘tanpa otak’ adalah pendidikan menghapal, bukan memahami. 
Coba ingat-ingat. Belajar menulis kepada yang konon pakarnya dijejar ini-itu. Harus begini, harus begitu, harus begana. Wajib begini, wajib begitu. Anak SMP dipaksa menulis sehebat profesor ya hang otaknya. Karena itu prinsip EWT adalah menulis apa yang ada di otak, apa yang ada di pikiran. Kalau pengetahuan di otak memadai, apalagi tingkat tinggi, keluarannya pastilah bagus. 
Menulis itu mendidik diri, membelajarkan. Menulis secara otomatis menawar, menimbang atau melihat posisi pengetahuan, sudah benar apa belum, masih kurang apa cukup atau pantaskah ditulis. Menulis pembelajaran diri. Jangan sampai ‘tanpa otak’.
Bagaimana menurut Sampeyan? 

Share this

0 Comment to "Menulis (5.1) Pendidikan Tanpa Otak"

Post a Comment