Tuesday 10 January 2017

Menulis (2.5) Otak ”Sang Pemroses”

RENDANG. Makanan terlezat di dunia, konon rendang. Pernah memperhatikan proses membuat rendang? Kebanyakan kita barangkali hanya menjadi penikmat kuliner khas ranah Minang yang popular disebut masakan Padang. Rendang identik dengan rumah makan Padang yang bertebaran di seantero negeri sampai mancanegara. Tetapi, jangan pernah mencari rumah makan Padang di Padang. Kenapa? Di Padang tidak ada rumah makan Padang. Hampir semua masakan, masakan Padang.
Membuat rendang tidak bisa dalam hitungan menit. Mulai memilih daging, meracik bumbu sampai menjadikan rendang memerlukan proses berjam-jam, terutama rendang yang bisa bertahan bulanan. Ketika kuliah di Yogya tahun 1980, biasanya Ibu mengirim rendang dengan potongan agak kecil berwarna coklat tua atau hitam. Begitu penutup kaleng kue kering dibuka, duh Mak, aromanya menagih lapar. Sedap nian.
Begitulah. Sedari kecil saya belajar memasak dengan Ibu. Tidak heran, karena beristrikan orang Banjar, menjadi guru memasak istri. Membuat rendang, ampun. Proses pembuatannya lama. Mengaduk-aduk kuali sampai santan memutih kemerahan menjadi coklat tua atau hitam. Mana diteror panasnya hawa kayu bakar, asap yang mencumbui hidup, baju basah kuyup karena peluh, daging beranjak matang, terus diaduk-aduk sampai aroma khas rendang menjadi, barulah OK punya. Rendang oh rendang.
Pembuatan rendang yang begitu rumit dan memakan waktu, manakala dijadikan proses kerja otak, hanya memerlukan waktu sepersekianan detik. Siapa pun pembuat rendang, pasti paham mulai dari pemilihan bahan, peracikan bumbu sampai proses pembuatannya. Semua itu disimpan di otak, dan ketika melakukan lagi, diurai dalam tahapan, tahap demi tahap. Durasi panjang tersebut sekejab saja di dunia otak. Otak Si Raja Proses.
Atau begini. Sampeyan misalnya penyuka wisata. Ketika berkunjung ke gunung Tangkuban Perahu di Jawa Barat pastilah terkagum-kagum, memandang dari tepian kawah, asap mengepul dari pusat kawah. Duh, mengagumkan.
Apalagi, kalau merelasikan dengan mitologi rakyat, tentang Sangkuriang tentang Dayang Sumbi, bisa menjadi pengelanaan imajinatif membuai. Atau, secara geologis membayangkan terbentuknya kawah gunung Tangkuban Perahu. Manakala merelasikan dengan kebesaran Allah SWT, lebih apa lagi. Tidak dapat tidak, kagum, takjub, atau terperangah.
Lalu, semua itu melalui pancaindra disadap menjadi konsep apa yang dinamakan gunung Tangkuban Perahu dan disimpan di memori. Ketika membaca, melihat gambar, atau mendengar orang lain membicarakannya sepersekianan sekon, pemahaman tentangnya tergelar di rumah otak, pada simpan pikiran. Tidak heran Sampeyan bisa menceritakan begitu detail sesuai pengalaman. Otak yang hebat.  
Membicarakan rendang, seperti juga gunung Tangkuban Perahu, atau apa saja yang telah disimpan di otak, bisa begitu mulus. Jangan seseorang salah sebut sebagai gunung Wilis, atau letaknya di kaki pemandian Ciater, manakala ada yang bercerita bisa turun ke bawah, bisa jadi soal hebat. Hebatnya pula, pembicaraan bisa sangat heboh. Sampai-sampai ada yang tidak sempat berbicara. Semua hal tentang rendang atau gunung Tangkuban Perahu mengeluar dari otak lebih cepat dari tsunami.
Begitu juga ketika membicarakan hal lain. Bahkan, banyak orang ketika mau ujian, misalnya ujian lisan atau wawancara enggan membaca bahannya, dan ketika ujian berlangsung dapat menjawab begitu cepat. Lancar car, car, car. Karena itu, tidak heran, di palanta lapau, di warung, atau seusai menonton Liga Inggris —kalau Liga Indonesia bisa jadi dongkol dengan pengurus PSSI yang membesarkan masalah bukan fokus mendayung prestasi— pembicaraan begitu gayeng.
Apa saja muatan topik yang dibicarakan berhamburan, tiada henti, lengkap dengan ‘bumbu’ penyedapnya. Dan, otak tidak mengeluh, melayani apa mau si empunya. Adakalanya sampai pagi, ketika bagian tubuh lain tidak kuat, otak (pikiran) masih tegap gempita dengan proses kerja yang sangat cepat. Berbicara, apalagi mendongeng, bukti betapa hebatnya proses kerja otak. 
Pikiran bisa ‘dibawa’ kemana saja. Tidak ada penghalang, tidak ada batas. Hal-hal yang susah diselesaikan, dari Bank Century Gate sampai reshuffle kabinet, asyik saja dibicarakan. Sangat lancar. Bahkan, urusan Israel dengan Palestina yang begitu rumit, mudah saja diselesaikan dalam pembicaraan. Sangat mudah.
Tetapi, berbeda ceritanya manakala ditulis. Dalam kaitan menulis, terutama bagi pemula, apalagi bagi yang suka beralasan, Raja Alasan atau Ratu Berkilah, proses kerja otak yang begitu cepat menjadi tumpul, mandul. Menulis satu dua alinea langsung tengkurap, ejakulasi dini menulis.
Ya, menulis berbeda dengan berbicara. Berbicara memanfaatkan alat bicara dengan merelasikan dengan pikiran langsung menjadi. Menulis? Sekalipun prosesnya sama, dibutuhkan koordinasi lebih canggih. Pikiran didayakan, jari tangan dibuat menari, mata melotot, mana pula alat-alat menulis sampai bahan yang akan ditulis, memerlukan bentuk jadi. Atau, apa yang saya sebut, konsepnya sudah matang (emang rendang?). 
Mustahil, manakala jari-jari tangan siap beraksi, pikiran masih menerawang apa yang akan ditulis, isian tulisan masih dipikirkan.  Kalau demikian, kapan menulisnya? Siapa saja yang menulis tanpa konsep akan kesusahan menulis. Gagap menulis.
Mana pula, kalau rasa lebih menguasai. Keinginan menulis menggebu-gebu sedangkan  pengetahuan tentang yang akan ditulis tidak memadai. Mana pula, mana mungkin menulis lincah  kalau kosakata cekak. Yang benar saja Bro. 
Mana pula menulis harus memperhatikan kaidah bahasa, diksi, sampai ke ranah semantik dan herneutika. Duh, ribet. Ambilan terbaiknya, melengkapi persyaratan menulis, melatih dengan melakukan, menulis, menulis, dan terus menulis. Sebab, kalau pada tataran pikiran sudah OK, menulis lebih kepada keterampilan. Keterampilan didapat dengan melakukan.
Bagaimana menurut Sampeyan?

Share this

0 Comment to "Menulis (2.5) Otak ”Sang Pemroses”"

Post a Comment