Friday 13 January 2017

Menulis (3.5) Membangun Kebanggaan

BANGGA. “Apakah Ersis bangga telah menulis belasan buku tentang menulis?” Siapa pun yang bertanya demikian pastilah dijawab: “Ya, iyalah Bro”. Tetapi, jujur saja, tidak bangga-bangga amat, apalagi pongah. Lebih tepatnya senang. Senang?
Bandingannya dengan pemakaian gelar. Secara akademik saya penyandang gelar Sarjana Muda, Sarjana, Magister, dan Doktor. Secara sadar, tidak suka memakai gelar tersebut untuk keperluan apa saja. Apabila diminta menulis nama ya ditulis Ersis Warmansyah Abbas. Gelar ditulis pihak lain atau memang sebagai keharusan.
Saya menulis puluhan buku, ratusan artikel dan aneka tulisan lainnya, masyak dikerdilkan. Lucu jadinya kalau tidak menulis malah yang dibanggakan dan menjadi kebanggaan. Lagi pula, kalau diri saja tidak bangga dengan apa yang dilakukan, dengan karya sendiri bagaimana dengan orang lain? Bangga, asal jangan pongah OK-OK saja. 
Pernah, seorang tamatan SMA mencela seorang sarjana. Saya tidak habis pikir, kalau si sarjana kesusahan mencari pekerjaan —bisa karena ilmunya tidak jelas dengan keterampilan payah— kesalahan terletak pada orangnya bukan gelarnya. Gelar adalah penanda. Berhasil meraih gelar sarjana tidak ada korelasi langsung dengan finansial.
Saya pernah membuat merah dadu muka seorang sarjana (bahasa). Dia lupa, saya memiliki aneka kamus sampai peribahasa dan membaca buku-buku kebahasaan; linguistik, semantik sampai semiotika, plus belakangan simulacrum. Lumayanlah. Kalau karya tulis dijamin lebih semlohay, eit bisa-bisanya dicela ini-itu. Si Pencela kemampuan menulisnya letoy. Dasar pecundang. 
Bangga membangun diri sah-sah saja. Kalau ada yang berhasil secara finansial, sekalipun SD saja tidak tamat, wajarlah bangga. Bangga bukan pongah, tidak pula beriya-riya atau dalam imajinasi. Bangga yang dibangun atas kenyataan adalah kenyataan yang membanggakan. Banggalah dengan prestasi. Banggalah sebagai Muslim, sebagai orang Indonesia. Tetapi, akan menjadi malapetaka kalau berhenti pada tingkat bangga imajinatif dan lupa berkarya. Kebudayaan dibangun atas akumulasi karya.
Ketika mendirikan ‘Lembaga Pengkajian Kebudayaan dan Pembangunan Kalimantan (LPKPK) merekrut sebelas tenaga peneliti. Saya sarjana pendidikan, pegawai saya dari ‘ilmu keras’; pertanian, peternakan, kehutanan, teknik, politik dan sebagainya. Wulah ada yang bangganya luar biasa.
Pada contoh lain, bagaimana calon sarjana perikanan bisa-bisanya menceramahi soal ikan, hal perkolaman. Sebelum membangun kolam ikan, saya membaca banyak buku tentang perikanan, melakukan survey dan eksprimen. Dan, jadilah kolam sebagai sumber finansial. Sekalipun bukan sarjana perikanan, boleh-boleh dong bangga dengan ‘ilmu alamiah’, membangun kebanggaan membangun kolam sekitar sehektar. Bangga sebagai pekolam. 
Saya bangga ‘belajar’ bertani dari mertua yang pensiunan sehingga beras, sayur dan keperluan dasar rumah tangga tidak perlu dibeli. Minimal menjaga makanan anak-anak dari aneka bahan pengawet. Bangga sebagai petani. Membangun kebanggaan dan dengan itu giat bekerja. Kita harus membangun kebanggaan diri, kelompok, bangsa dan negara. Bangga berprestasi. 
Bagaimana menurut Sampeyan?

Share this

0 Comment to "Menulis (3.5) Membangun Kebanggaan"

Post a Comment