Sunday 15 January 2017

Menulis (5.3) Mempelajari Otak, Ogah Ah

MENULIS. Bagaimana kalau Sampeyan menghadapi persoalan seperti ini. Seorang sarjana menyulang, menulis bukan dengan otak, tetapi dengan hati. Maksudnya kira-kira, kehendak menulis didasari, dilandasi hati. Pertanyaannya apa itu hati? Apa yang dimaksud liver sebagai benda, atau dalam pengertian kalbu, atau apa? Ketika diminta pengertian dia tidak mampu menerangkan. Paham sebagaimana dia memahami, bukan dalam arti konsepsual.
Manakala tidak paham konsep absen, Sampeyan menyuruh murid atau bawahan menandatangani absensi (daftar ketidakkehadiran). Orang hadir diminta menandatangani ketidakhadiran. Lucu. Ada pula yang mengumandangkan pulang-pergi walaupun paham, aktivitas dimulai dari awalnya, pergi dulu kemudian pulang. Atau, bertanya: “Air (ledeng) di rumah Sampeyan apa jalan?” Bagaimana mungkin air berjalan, emang air berkaki? Konsep berpindahnya air mengalir. Wualah, apalagi kalau ledeng berbaris lalu berjalan ke seantero kota. Bisa membuat geger dunia Bro.
Penalaran adalah wilayah pikiran, terlepas dalam pengertian umum tertumpang tindih dengan otak. Pikiran, atau turunannya, pemikiran, penalaran, ide, gagasan, dan seterusnya adalah ketika seseorang mengoperasikan otak sebagai hardware dan pikiran sebagai software yang dalam kaitan tulisan ini, manusia yang menulis. 
Apalagi kalau tingkatannya dinaikkan, misalnya, menulis tergantung mood, in the mood, tentu lebih rumit. Benar saja, dalam kehidupan, suasana hati, suasana kebatinan, mood (pahami secara radiks dalam konteksnya), mempengaruhi apa yang kita lakukan. Saya tidak membahas relasi konsepsional antara pikiran dengan hati, apalagi perasaan. Dalam konteks menulis lebih menjurus, menciptakan mood. Jangan sampai menulis menunggu mood. Kalau tidak hampir, tidak menulis dong.
Dus, diskusi ditukikkan kepada otak (baca: pikiran) sebagai landasan. Otak yang menginput, memproses, dan mengeluarkan apa yang (akan) ditulis sehingga menjadi tulisan. Pertanyaan pokoknya, apakah (sebelum) menulis telah mempelajari otak? Apa itu otak? Bagaimana sistem kerjanya, merawat, sampai melejitkannya? Kalau memahami otak saja tidak mau, ogah mempelajari otak, tidak syak lagi, sungguh berkesusahan Bro.
Pernah membaca buku Menulis dengan Gembira? Ada bahasan menghentak yang rada-rada lucu, tentang BH. Ada cewek yang kemana-mana memakai BH, tetapi kepanjangan BH saja tidak tahu, apalagi artinya, filosofisnya. Pokoknya pakai. Saya menganjurkan memahami maknanya dengan istilah kutang. Klir. Jelas. 
Bisakah kita menulis tanpa mempelajari otak? Atau begini, mana yang lebih baik mempelajari otak dibanding tidak? Boleh-boleh saja bersikukuh, ogah mempelajari otak, toh sudah bisa menulis atau merasa diri penulis hebat dengan menggunakan otak tanpa mempelajari. OK, OK. Tetapi, apa salahnya mempelajari otak? Dengan memahami apa itu otak dengan segala kehebatannya, Insya Allah akan lebih memudahkan menulis. 
Percaya atau tidak, buktikan. Ogah itu bagus pada konteks yang tepat. Anjuran saya, kalau berkehendak menulis, pelajari otak. Tidak ada ruginya. So pasti.
Bagaimana menurut Sampeyan?

Share this

0 Comment to "Menulis (5.3) Mempelajari Otak, Ogah Ah"

Post a Comment