Saturday 14 January 2017

Menulis (4.4) Agitasi Menulis

CANDU. Pemantik menulis, sebagaimana rezeki, terkadang datang tanpa diduga. Kalau Allah SWT mendatangkan rezeki, tanpa mengharapkan akan didapat. Rasulullah tidak pernah mengajarkan doa untuk menolak rezeki. Rezeki datang dari Allah SWT. Selama manusia berusaha jangan takut tidak dihampiri rezeki. Bahwa, dalam mendapatkannya beragam pengalaman itu soal lain.
Menulis tentu bukan rezeki dalam artian harfiah. Hanya saja, kalau mampu dimaknai bisa jadi ‘ibu’ rezeki. Menguntungkan secara psikologis, menjadi amal manakala untuk kebaikan, bermanfaat bagi pembaca, dan bisa menjadi sumber pendapatan. 
Maaf, bukan bermaksud bergaya. Bagi saya menulis dipatok dalam kancah positif. Sekalipun belum penulis handal di lubuk jiwa ada keinginan berbagi. Korban awal tentu lingkungan terdekat. Perasaan berasa melayang ke langit ketujuh apabila yang dimotivasi menulis.
Pada posisi demikian mungkin punya kelainan. Pada tingkat tertentu, motivasi yang diumbar adakalanya tergolong agitasi; menghasut dengan aneka cara agar orang terpantik menulis. Padahal, kalau dipikir-pikir, terkadang malu juga. Siapa sih sebenarnya awak ini? Sudah demikian, tidak terlalu mempersoalkan tujuan memotivasi atau ragam agitasi menulis yang dilakukan. Agar tidak berpanjang-panjang diringkas saja, senang apabila semakin banyak orang kecanduan menulis.
Di ‘dunia darat’, terutama mahasiswa-mahasiswa, peserta seminar, atau penataran biasanya paham gaya memotivasi, atau agitasi saya. Menulis tidak mungkin dilakukan oleh mereka yang malas membaca. Menulis tidak mungkin dilakukan oleh yang suka beralasan, Raja Alasan. Ada beberapa hal yang diagitasii.
Pertama, banyak membaca. Kalau berkemampuan membaca dengan baik, isi bacaan akan dipahami untuk disimpan di memori. Kalau susah, bisa jadi, karena membacanya tidak benar, atau penyimpanan tidak sempurna. Kalau demikian, sangat sukar dikeluarkan, ditulis. Banyak orang berilmu, ahli segala rupa, menulis apa yang diomongkannya, bisa pingsan dia. 
Kedua, tidak malu ‘kebodohan diri’ diketahui khalayak. Menulis berbeda dengan berbicara (ngomong). Kalau berbicara, begitu selesai, ditelan ruang. Kalau disoal bisa berkilah: Ah saya tidak berbicara begitu. Sampeyan salah dengar, salah tangkap (emang tikus). Menulis tentu tidak bisa berkilah. Tertulis. Dari tulisan akan kelihatan ‘bodoh’ atau ‘pintar’ seseorang. Kalau tidak mau ketahuan bodoh, jangan menulis.
Entahlah. Yang pasti niat saya baik. Terakhir semakin menaik, bukan sekadar menulis, tetapi menulis buku. Agitasinya diperlebar terus-menerus. Contohnya, Syamsuwal Qomar dan Suciati, diwajibkan menulis buku sebelum sarjana. Kalau berhasil diterima jadi karyawan. Ada yang bilang, wartawan senior itu kalau sudah menulis buku, Qomar dan Suci sebelum resmi jadi wartawan setelah menulis buku.
Mantan mahasiswa saya yang kini dosen, Syaharuddin, mungkin paling empuk dijadikan sansak. Simpai Kempo pemenang medali emas Porda VI Kalsel tersebut, ditengah kesibukannya mengerjakan tesis S2 di UGM, kalau ke rumah disambut muka cemberut. Alhamdulillah dia tahan banting. Apa sebab?
Sebelum berangkat ditancapkan: “Sebagai murid saya, apa tidak malu berpendidikan S2 tidak menulis buku.” Agitasi mujarab. Dua bukunya diterbitkan: Aktualisasi Nilai-Nilai Islam dalam Kehidupan Masyarakat, dan Pendidikan Antara Konsep dan Realitas. Yang terakhir karya bersama dengan istrinya. Diterbitkan penerbit Eja Publisher Yogya. Kini dia tengah menyelesaikan studi S3. Great.
Syaharuddin, anak tabah dan baik hati tersebut membawa hadiah buku Kado Perkawinan; Road to Holy Wedding karya Muhammad Yusuf. Yusuf, mahasiswa pascasarjana UGM tersebut terpantik menulis setelah membaca buku Menulis Sangat Mudah. Saya agak malu testimoninya betapa buku kacangan tersebut sangat dahsyat memotivasi. 
Tulisan ini saya hadiahkan sebagai apresiasi buat mereka. Maaf kalau cara saya terlalu keras. Yakini satu hal, menulis itu baik. Lakukan sebagai medan dakwah, ladang amal. Biarlah saya tertunduk sebagai motivator kacangan atau agitator tidak berbudi, yang penting kalian bukan sekadar menulis saja, tetapi menjadi penulis buku.
Salam maaf. Menulis, menulis, mari menulis. 
  Bagaimana menurut Sampeyan?

Share this

0 Comment to "Menulis (4.4) Agitasi Menulis"

Post a Comment