Tuesday 6 December 2016

Menulis (1.1): Menulis Susah? Kata Siapa?

Ersis Warmansyah Abbas
Dosen FKIP Unlam Banjarmasin

PEMBACA tulisan atau buku-buku saya ada yang heran, bagaimana bisa hampir setiap hari mempublikasikan tulisan. Saya dosen di PTN; memberi kuliah, meneliti, dan melakukan pengabdian masyarakat, membimbing skripsi dan tesis mahasiswa S1 dan S2. Bersamaan dengan itu sering didapuk sebagai nara sumber untuk pendidikan dan latihan (Diklat), mempresentasikan makalah atau sebagai motivator. Kapan menulisnya? Apa tidak mengalami kesulitan menulis?

Pertanyaan sedemikian sudah saya jawab melalui tulisan di dunia maya atau dunia nyata, tetapi tetap saja ditanyakan. Rupanya mereka menginginkan saya menjawab langsung. Sampai-sampai tergoda ”memikirkannya”: Kok bisa ya?


Bayangkan. Dari hampir seratus buku yang saya tulis, perorangan maupun bersama-sama, sekitar dua puluh lima (25) buku tentang menulis. Kalau Sampeyan penasaran, cari di jagat raya ini penulis yang menulis tentang menulis 25 buku. Seorang teman berseloroh: ”You bukan dosen Bahasa Indonesia (Inggris) pengampu mata kuliah Menulis atau Menulis Kreatif, tetapi menulis demikian banyak buku tentang menulis.”

Sulit Menulis?


Setelah dipikir, berkali-kali dipikirkan, saya tidak pernah memikirkan tentang sulit atau kesulitan menulis. Saya berprinsip, bila ingin menulis atau mendapat tugas menulis, ya ditulis saja. Kalau ada senior di kampus atau teman pejabat meminta tolong agar menulis ini-itu, dia saya kategorikan orang cerdas. Menugaskan apa yang saya sukai. Laksanakan!

Bisa jadi hal tersebut terkondisi karena kebiasaan sejak sekolah (kuliah). Saya mengerjakan tugas yang diberikan guru (dosen) begitu sampai di rumah (kos), tidak menunggu-nunggu apalagi menunda-nunda menyelesaikan tugas. Atau, kalau pekerjaan lagi banyak atau lagi kepincut membaca karya Karl May atau Khoo Ping Ho tugas dikerjakan malam sebelum diserahkan. Belakangan, karena banyak yang harus dikerjakan, pilihan terakhir tidak terelakkan.

Berita buruknya, seperti sering dikeluhkan orang, tulisan-tulisan saya banyak salah ketik. Ya, itu tadi, saya menulis ngebut saja, dan tidak mengoreksi tulisan yang sudah menjadi. Kalau tulisan untuk dipresentasikan, biasanya istri saya yang membetulkan. Kalau untuk media cetak, saya percaya sepenuhnya, editor media bersangkutan hebat-hebat. Berbagi pekerjaanlah. Bisa jadi ada editor yang tidak senang dengan tulisan yang banyak salah ketiknya dan enggan memuatnya. Saya sih santai saja, kalau tidak dimuat ya tidak apa-apa. Saya ingin menulis dan telah ditulis, tugas saya selesai.

Bahwa saya senang tulisan saya dibaca orang atau mendapat honor, ya iyalah. Tetapi, bukan itu hal utamanya. Yang saya nikmati, begitu selesai menulis sesuatu, duh nikmatnya, legaaaa. Tidak takut dicela atau dicacimaki karena menulis?

Tidak. Tidak dalam arti tidak saya pikirkan. Kesenangan saya ketika tulisan menjadi, bukan pada pujian atau cacian. Itu ”bonus” saja, seperti juga honor atau royalti buku. Lagi pula, kalau dicemeeh, dijadikan pemicu agar lebih giat menulis. Kalau diingatkan misalnya, nyrempet-nyrempet yang tabu, ya dihindari. Istilahnya, kalau kurang dipenuhi kalau salah diperbaiki. Dijadikan ringan saja.

Dari berbagai sharing, saya simpulkan, banyak penulis (pemula) memaksa-maksa diri dan adakalanya sombongnya luar biasa. Maksudnya?

Saya saja yang sudah menulis ratusan kalaulah tidak ribuan tulisan, tidak takut salah, tidak takut tulisan saya jelek, tidak takut dikritik atau dicaci, sebab dengan semua itu ke depan bisa memperbaiki tulisan. Penulis (pemula) yang sombong itu maunya tulisannya langsung sempurna. Saya menulis sesuai kemampuan diri. Biarlah Victor Hugo atau Ibnu Sina begitu hebatnya menulis, saya cukuplah berstatus pembelajar. Salah atau berbagai kekurangan bukanlah kutukan, bukanlah pematah semangat untuk menulis. Belajar dan membelajarkan diri lebih penting. Sembari belajar berkarya (menulis) dan menghasilkan karya (tulisan).

Menuliskan Pikiran


Dapat dipastikan semua orang mampu berpikir, tetapi tidak semua orang mampu memaparkan pikirannya dalam bentuk tulisan. Pikiran yang ditulis menjadi tulisan adalah konkritisasi pikiran. Manakala seseorang tidak punya pikiran (tidak mampu berpikir) tentu mustahil dia mampu menuliskan pikirannya. Sesuatu yang tidak perlu dibahas.

Dalam menulis saya mempunyai prinsip: Menuliskan apa yang ada di pikiran bukan memikirkan apa yang akan ditulis. Ya, kalau memikirkan apa yang akan ditulis tidak akan berkesudahan. Sekalipun demikian, pastilah sudah tulisan hasil berpikir. Hal yang ingan saya tekankan, ketika menulis lebih elok menuliskan apa yang sudah dipikirkan. Contohnya sebagai berikut.

Menjalankan tugas profesional sebagai dosen, dari rumah ke kampus, Banjarbaru-Banjarmasin, saya menyetir sekitar 80 km dalam perjalanan sekitar dua jam pergi-pulang. Apa yang dilakukan?

Selama perjalanan, ada saja pantikan pikiran, ada beragam ide yang entah datang dari mana ”bermain” di pikiran. Ide-ide tersebut ”dijinakkan” dengan memfokus pada satu ide, misalnya Indonesia ini akan makmur manakala tidak menjadi negara pengutang. Betapa bodohnya bangsa kaya raya sumberdaya alam, justru terjerumus menjadi negara pengutang sangat hebat (saat ini Rp 4.000,00 triliun).

Bayangkan. Rp 4.000,00 apabila dibagi rata setiap penduduk, anak yang baru lahir saja sudah terbebani utang, yang mungkin dia tidak mampu menabung untuk membayar ”bagian” utangnya sampai dia meninggal. Pertanyaannya, kemana, diapakan, atau siapa yang memanfaatkan kekayaan alam Indonesia?

Solusi idenya, kalau menjadi presiden Republik Indonesia, prioritas utama saya membayar utang. Tidak terbayangkan, negara mengumpulkan pajak dari rakyat yang ekonominya semakin runyam, mengeksploitasi sumberdaya alam, hanya untuk membayar utang. Gilanya pula, dengan ”goyangan” nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, utang bertambah dengan sendirinya. Pelunasan hutang harus menjadi prioritas.
Hal seriusnya, kapan saya menjadi presiden? Lagi pula, saya bukanlah ekonom. Artinya, ide tersebut tidak layak saya tulis. Pengetahuan saya tidak cukup. Ide tersebut terlalu hebat untuk orang seperti saya.

Ya, jangankan ide hebat yang sekalipun masuk akal, untuk menulis karya tulis ilmiah, dunia akademis, saya harus membaca banyak hal. Misalnya ketika menulis disertasi atau makalah. Artinya, tidak semua ide pantas menjadi tulisan. Lalu?
Tulislah ide sesuai kapasitas diri. Tulisan sedemikian dapat Sampeyan baca pada puluhan artikel atau pada sekitar 25 buku saya tentang menulis. Tulisan yang ditulis renyah-renyah basah. Menulis, menuliskan pikiran, bukan menulis untuk membebani pikiran.

Menulis Hanya “Copy Paste”


Baiklah. Batasan diskusi kita menulis non-akademik, bukan menulis karya tulis ilmiah. Sekali lagi, menulis non-ilmiah. Satu hal yang perlu saya ingatkan, jangan pernah melecehkan karya tulis non-ilmiah. Peruntukkannya berbeda. Tujuan saya menulis tulisan ini, bukan untuk memberi kuliah atau membimbing penulisan ilmiah, tetapi mendiskusikan menulis dalam bingkai motivasi: Menuliskan apa yang ada di pikiran bukan memikirkan apa yang akan ditulis.

Sekali lagi: kenapa menulis mudah? Dengan menerapkan Ersis Writing Theory (EWT), sejatinya kita hanya meng-copy paste atau menyalin apa yang telah ditulis di otak. Untuk menulis artikel pendek, rekor saya 7 menit, dan lebih sering dalam satu jam dua tulisan menjadi. Bagaimana caranya?

Ya, itu tadi. Ketika menyetir saya menulis di otak. Ide dikembangkan, diformulasikan, setelah menjadi tulisan ditulis (disimpan) di otak. Misalnya saya mengikuti pengarahan dari pejabat kampus, sembari menunggu banyak orang ngomong ngalor-ngidul, saya membuka laptop dan ”menyalin” apa yang ditulis di otak selama perjalanan. Ada orang yang membangun kebanggaan dengan merumor atau berghibah, dan bangga sebagai perumor sejati, saya mendapat tulisan. Kalau mengikuti penataran, misal mendapat penatar membosankan, saya bukan memaki atau balik-bolak ke WC, tetapi menulis di otak atau menyalin apa yang telah ditulis di otak. Memanfaatkan hal terburuk sekalipun untuk menulis.

Pertanyaannya: bagaimana mengembangkan ide? Itu dia. Bukan sombong. Sedari kecil Bapak saya sepertinya telah ”menyiapkan” saya sebagai pembaca. Kelas 5 (lima) Sekolah Rakyat (SR) saya sudah akrab dengan karangan Karl May, apalagi cergam C. Isra tentang Tarik bin Ziad sampai Ihya Ulumuddin Imam Al-Ghazali. Sampai detik ini, tulisan-tulisan Abu Hanifah tentang Tiongkok atau analisis Rivai Marlaut tentang peristiwa luar negeri masih lengket di otak. Jangankan bacaan serius, saya juga pembaca serius Khoo Ping Ho sampai penonton film Edwige Fenech he he.

Bacaan adalah modal sekaligus sumber, pemicu dan pemacu aktivitas menulis bergandengan dengan pengamatan? Pengamatan?

Sebagai contoh, saya perhatikan seksama berapa tangga atau pilar taman Universitas Pendidikan Indonesia Bandung. Ketika ke Malaysia, saya amati konstruksi KLIA, desain Putrajaya dideskripsikan dan ”ditulis” di otak. Selesai menonton serial James Bond, 007, searching lokasinya sehingga merasakan berada di situ, begitu juga film Ring of Fire.

Setelah menyampaikan makalah di UKM Bangi Malaysia dengan teman-teman berlibur ke Singapura. Alhamdulillah, di Woodlands Checkpoint kami diperiksa custom Singapura. Sebagai warga negara bangsa besar, Indonesia, perasaan dicabik-cabik. Terhina. Teman-teman marah luar biasa. Saya hibur saja, kapan lagi kita merasakan lie detector. Disimpan di otak atau ditulis di otak dengan rapi. Suatu saat akan dipanggil.

Jadi, memastikan ”menyimpan” atau menulis bacaan dan pengalaman di otak dengan benar, klir tanpa ada keraguan, langkah awal menulis. Kalau tidak dibiasakan, menyimpan konsep di otak secara benar dipastikan ketika menulis akan kerepotan. Sampeyan akan sibuk mencek atau bertanya ini-itu yang menjadikan aktivitas menulis susah dan menyusahkan, mandek, dan berakibat putus asa.
Menulis Sulit?

Sebelum tulisan ini diakhiri, manakala berkehendak menulis, hal mendasar yang tidak perlu ditawar-tawar atau bahkan didiskusikan adalah: Menulis di Otak. Menulis di otak dengan informasi yang benar dilakukan dengan dua cara. Pertama, banyak membaca. Kedua, merekam pengalaman. Ketiga, ini yang tidak kalah penting, kesulitan menulis itu ”dongeng” ciptaan sementara orang saja.

Dengan demikian, kalau pemahaman kesulitan demikian, mari kita melakukan menulis. Dengan demikian sesungguhnya kita mengatasi kesulitan-kesulitan menulis, dengan melakukan, dengan menulis.

Bagaimana kiat-kiat lainnya. Kiranya sudah dipaparkan dalam buku-buku saya tentang menulis. Selamat membaca.

Salam.

Share this

0 Comment to "Menulis (1.1): Menulis Susah? Kata Siapa?"

Post a Comment