Wednesday 7 December 2016

Menulis (6.1): Belenggu Takut

Ersis Warmansyah Abbas
Revolusi, kalau salah, biar saja salah. Ngapain salah disalah-salahkan, apalagi dijadikan pemukul. Salah sesuai kesalahannya. Jangan salah dibenarkan. Biarlah salah menjadi salah, tidak usah ditakuti. Belajarlah dari kesalahan.
PROSES. Entah benar atau tidak, kesimpulan berikut memang bukan berdasarkan kajian ilmiah, belenggu-belenggu menulis identik dengan belenggu diri. Siapa yang mampu mengatasinya, dia tidak akan didenda beban menulis. Secara berseloroh seseorang mengatakan, ketakutan menulis tersebab takut ketahuan bodohnya. Apa sebab?

Kalau seseorang terbiasa berbicara, apalagi Raja Pandir kalau menulis tidak lagi bebas merdeka. Secara bagarah-garah, maulu-ulu, sebab saya kan punya hak juga untuk iseng, kalau menulis dia tidak mungkin beralasan. Saya seorang guru, seorang dosen. Saya bertahun-tahun mengampu beberapa mata kuliah. Kalau ditanya, kenapa bahan kuliah tidak ditulis?

Wahai para mahasiswa harapan bangsa. Kalau ditullis saya tidak bisa beralasan, berkilah. Misal salah ketika menulis orgasme tertulis orgamsisme. Ya, salah. Begitu yang tertulis. Kalau berbicara, dengan mudah mengoreksi, maksud saya orgasme. Atau, kalau salah, timpakan, kalian salah menangkap maksud saya. Huaho.

Coba saja kalau menulis buku, ya harus memperbaiki ketika cetak ulang atau bukunya ditarik. Karena itu, penulis bersepakat sekalipun tidak tertulis, menulis memerlukan tingkat kehati-hatian tinggi. Karena itu guru-guru begitu telaten mengajarkan bagaimana menulis yang benar. Tidak salah memang. Menjadi masalah kalau aturan itu menjadi belenggu. Penulis biasanya telah melewati belenggu tersebut. Mau menulis, tulis saja habis perkara. Lalu bagaimana dengan penulis pemula?

Revolusi hal tersebut dalam pikir, pada tindakan. Kalau salah, biar saja salah. Ngapain salah disalah-salahkan, apalagi dijadikan pemukul. Perlakukan salah sesuai kesalahannya. Jangan pula, salah dibenarkan. Biarlah salah menjadi salah, tidak usah ditakuti. Belajarlah dari kesalahan. Sederhana saja.

Takut? Ya, siapa pun punya ketakutan. Tempatkan diri jadi pelajar, pembelajar. Kalau salah, perbaiki. Salah sebagai pembelajaran. Ngak malu? Nah lho, namanya juga belajar. Christophorus Columbus saja salah ditulis sebagai penemu Benua Amerika, konon yang menemukan Amerigo Vespucci. Pendapat terbaru para pelaut Muslim.

Sahabati takut salah, hingga diri tidak merasa salah melulu. Imbuhkan dengan berusaha tidak membuat kesalahan. Tetapi, tetap salah. Ya, itulah gunanya belajar. Inti belajar agar jangan salah bukan? Pada proses belajar itu wajar terjadi kesalahan. Emang Sampeyan Malaikat?

Dengan kata lain, memula menulis, takut salah, takut ini-itu hal wajar saja. Memang begitu seharusnya. Tetapi, hanya orang bodoh yang menimpakan salah, memelihara salah, apalagi menjadikan salah sebagai belenggu diri. Belajarlah dari kesalahan. Dan, menulislah. Menulis adalah pembelajaran itu sendiri, pelawan takut salah. Musuh kebodohan.

Bagaimana menurut Sampeyan?

Share this

0 Comment to "Menulis (6.1): Belenggu Takut"

Post a Comment