Arieza Qonita
Mahasiswi Jurusan PBA UIN Malang
Mahasiswi Jurusan PBA UIN Malang
SAAT saya masih duduk di bangku MI atau setara SD, entah tahun berapa
tepatnya, tukar-menukar kertas binder (saya kurang tahu nama resminya)
menjadi sesuatu yang fenomenal dengan teman sepermainan. Dari situ, saya
membawa binder ke mana-mana, termasuk ke rumah nenek. Siapa tahu saja
ada orang yang mengajak bertukar kertas binder.
Saat mengisi waktu kosong, atau tak ada yang bisa saya lakukan, saya
akan menulis. Menulis apa? Apa saja. Benar-benar apa saja. Jika saat itu
hujan, maka saya akan menulis tentang hujan atau air. Atau jika yang
terlintas dalam benak adalah handuk, maka saya akan menulis handuk.
Bentuk isinya seperti apa? Jika bukan puisi tentang ‘benda-benda’ itu,
isinya menjelaskan seputar bagaimana-jika-tidak-ada-benda-itu atau
singkatnya tentang manfaat ‘benda-benda’ tersebut. Memang isinya tidak
banyak, hanya setengah halaman untuk masing-masing tulisan. Saya juga
sempat mempunyai impian untuk menulis buku seperti penulis-penulis cilik
dari buku Kecil-Kecil Punya Karya yang saya koleksi.
Semakin tumbuh besar, saya mulai jarang menulis. Ketika membuka
tumpukan kertas dalam binder dan menemukan tulisan-tulisan tersebut,
saya merasa itu benar-benar konyol dan berpikir: “Ih, aneh-aneh saja.”
Ada beberapa (atau mungkin semua) yang saya buang (atau bakar?).
Sekarang, saya menyesal. Bagaimana tidak. Seharusnya saya bangga, saat
teman-teman lain hanya sibuk tukar-menukar kertas binder, saya seolah
melihat peluang besar dalam kertas binder tersebut. Saya bisa
menumpahkan ekspresi saya ke dalam bentuk tulisan di atas kertas-kertas
lucu dalam binder. Bahkan, meski tulisan tersebut (sangat) memalukan,
saya bangga karena dari situ minat menulis saya tumbuh. Sayangnya,
tulisan-tulisan tersebut entah ke mana dan hanya menjadi sejarah tanpa
bukti.
Oh ya, sedari kecil saya suka sekali menulis curhatan di diary.
Sekalipun perhatian lebih tertuju kepada diary-nya yang unyu-unyu dan
memiliki gembok mungil di pinggirnya yang ternyata bisa dibuka bahkan
menggunakan ujung bolpoin, saya ternyata sudah menulis sedari kecil.
Menulis merupakan bagian aktivitas saya. Sesuatu yang jarang dilakukan
oleh anak-anak seusia saya.
Memasuki MTs atau setara SMP, saya mulai mengikuti perlombaan karya
tulis fiksi di pondok pesantren yang tidak jauh dari rumah saya di
Sumenep. Sebenarnya, lomba menulis ini tempat ‘pelarian’. Saya orangnya
pemalu dan sulit berbicara di depan umum. Menulis menjadi penyaluran
sekaligus pelarian.
Karena sangat berkeinginan mengikuti lomba, saya mencari lomba yang
tidak perlu maju ke pentas dan cukup berada di ‘belakang layar’.
Alhamdulillah atas izin Allah SWT, pada lomba cerpen yang pertama saya
ikuti saya mendapat urutan ketiga. Saya juara tiga dan pialanya
merupakan piala pertama yang saya dapatkan. Sungguh tidak akan pernah
dilupakan.
Menyusul piala pertama, tahun berikutnya saya mendapat piala lagi
untuk lomba yang sama. Kali ini saya menjadi juara pertama. Cara
menuturkan cerpen yang disertakan pada lomba ini berbeda dengan cerpen
sebelumnya. Saya menyadari sebagai akibat dari kesukaan saya kepada
serial Harry Potter karya Joanne Kathleen Rowling. Buku-buku karya J.K.
Rowling menjadi ‘pedoman’ dalam penulisan cerpen-cerpen yang saya
ikutkan lomba. Saya merasa nyaman dengan gaya bahasanya, dan saat itu
jarang ada cerpen serupa gaya terjemahan.
Memasuki MA atau SMA, rutinitas mengikuti lomba cerpen terus
berlanjut, termasuk di luar wilayah Madura, tetapi sebatas via email.
Saya juga mencoba mengirimkan cerpen ke majalah nasional, tetapi selalu
hilang kabar. Jangankan menerima berita pemuatannya, menerima kabar
bahwa cerpen tersebut tidak dimuat karena alasan ini-itu pun tidak.
Meski begitu, saya sekarang bersyukur, karena setidaknya ada karya tulis
yang saya hasilkan. Saya tidak kecewa cerpen-cerpen saya tidak (belum)
dimuat majalah nasional.
Mirisnya, jika saya flash back, saya hanya akan menulis jika ada
lomba atau diminta saja—kecuali untuk curhatan di diary. Kebiasaan
tersebut memang tidak patut ditiru. Bahkan saya pun sebenarnya merasa
tertekan. Mengapa? Karena menulis untuk suatu tujuan dan ditunggu
deadline mematikan otak saya. Otak saya tidak selincah saat saya menulis
untuk diri saya sendiri (saya membandingkan itu dengan cerpen saya yang
mengalir apa adanya). Di samping itu, saya termasuk orang yang sulit
fokus dan pemilih masalah waktu. Sekali fokus, saya bisa duduk dan
menyelesaikan tulisan. Itu artinya saya harus mencari waktu khusus untuk
menulis, sekiranya tidak ada hal yang mengganggu di tengah-tengah waktu
menulis.
Sangat merepotkan memang. Tetapi, jujur saja, jika bukan karena ada
lomba atau tidak diminta menulis, saya tidak akan menulis. Mungkin
karena kebiasaan jelek tersebut, saya punya pandangan bahwa menulis
adalah hal yang saya sukai, tetapi juga hal yang sangat sulit. Bagaimana
bisa suka tetapi sulit? Yap, bagi saya menulis berarti memikirkan
jumlah halaman sekaligus kualitas isi. Itu adalah kendala besar sebelum
saya melangkah, yang ujung-ujungnya membuat kertas tetap saja kosong
atau terisi tak penuh.
Menulis sendiri adalah sesuatu yang luar biasa. Ia mampu membuat
seseorang menjadi abadi melebihi umurnya. Menulis mampu menjadikan
seseorang menjadi guru lewat tulisan yang ia ajarkan kepada orang lain.
Lalu, bagaimana menulis bisa menjadi sesuatu yang menyenangkan dalam
bagian hidup dan jiwa kita? Mulailah dengan menulis apa yang kita sukai
dan apa yang kita ingin tuliskan. Seperti yang saya lakukan saat masih
MI. saat ini, bagi saya itu adalah sebuah prestasi besar di mana saya
menulis tanpa syarat, menulis untuk diri sendiri, meski dengan bahasa
yang amat sangat sederhana bahkan konyol di mata saya. Tetapi begitulah
seharusnya menulis. Mengalir dari hati dan rasa, mengalir apa adanya.
Banyak membaca juga akan membantu kegiatan menulis menjadi sesuatu
yang alami dari diri kita. Sebab membaca sama seperti makan, ada hal
yang harus dibuang atau dikeluarkan sesudahnya. Membaca, menurut salah
seorang guru di MA dulu, adalah “kulakan” (ilmu pengetahuan) di mana
kita harus “menjual” sesudahnya. Sering-sering membaca akan melahirkan
rasa tidak nyaman dalam hati, seolah ada sesuatu mengganjal yang harus
diungkap, yang harus dituliskan.
Saat sudah menulis, jangan menghapusnya dulu. Biarkan saja tulisan
tersebut. Tulis saja semua yang terlintas di otak. Biarkan tangan ini
berjalan dan jangan berhenti sampai usai. Barulah kemudian baca kembali,
pangkas dan tambahkan yang perlu. Baca lagi, edit lagi. Begitulah terus
sampai puncaknya kita merasa puas dan siap untuk mengarsipkannya
sendiri. Ya, batasan manakala kita sudah yakin bahwa tulisan tersebut
sudah bagus, pantas dipublikasikan.
Jika masih ingin rutin menulis, maka cobalah menulis karena tuntutan
diri sendiri. Seperti misalnya, dalam seminggu harus ada sekian karya
yang dihasilkan. Dan tentunya, untuk konsisten, hal tersebut harus
disertai dengan niat dan tekad yang kuat.
Saat menulis sudah menjadi daging dalam tubuh, menjadi oksigen dalam
napas, dan menjadi darah dalam nadi, kita akan merasakan bahwa menulis
tidak sekadar untuk eksis, tetapi lebih dahsyat dari itu.
Amin.
0 Comment to "Menulis (4.1): Menulis Tanpa Syarat"
Post a Comment