Tuesday 6 December 2016

Menulis (4.1): Menulis Tanpa Syarat

Arieza Qonita
Mahasiswi Jurusan PBA UIN Malang

SAAT saya masih duduk di bangku MI atau setara SD, entah tahun berapa tepatnya, tukar-menukar kertas binder (saya kurang tahu nama resminya) menjadi sesuatu yang fenomenal dengan teman sepermainan. Dari situ, saya membawa binder ke mana-mana, termasuk ke rumah nenek. Siapa tahu saja ada orang yang mengajak bertukar kertas binder.
 
Saat mengisi waktu kosong, atau tak ada yang bisa saya lakukan, saya akan menulis. Menulis apa? Apa saja. Benar-benar apa saja. Jika saat itu hujan, maka saya akan menulis tentang hujan atau air. Atau jika yang terlintas dalam benak adalah handuk, maka saya akan menulis handuk. Bentuk isinya seperti apa? Jika bukan puisi tentang ‘benda-benda’ itu, isinya menjelaskan seputar bagaimana-jika-tidak-ada-benda-itu atau singkatnya tentang manfaat ‘benda-benda’ tersebut. Memang isinya tidak banyak, hanya setengah halaman untuk masing-masing tulisan. Saya juga sempat mempunyai impian untuk menulis buku seperti penulis-penulis cilik dari buku Kecil-Kecil Punya Karya yang saya koleksi.

Semakin tumbuh besar, saya mulai jarang menulis. Ketika membuka tumpukan kertas dalam binder dan menemukan tulisan-tulisan tersebut, saya merasa itu benar-benar konyol dan berpikir: “Ih, aneh-aneh saja.” Ada beberapa (atau mungkin semua) yang saya buang (atau bakar?). Sekarang, saya menyesal. Bagaimana tidak. Seharusnya saya bangga, saat teman-teman lain hanya sibuk tukar-menukar kertas binder, saya seolah melihat peluang besar dalam kertas binder tersebut. Saya bisa menumpahkan ekspresi saya ke dalam bentuk tulisan di atas kertas-kertas lucu dalam binder. Bahkan, meski tulisan tersebut (sangat) memalukan, saya bangga karena dari situ minat menulis saya tumbuh. Sayangnya, tulisan-tulisan tersebut entah ke mana dan hanya menjadi sejarah tanpa bukti.


Oh ya, sedari kecil saya suka sekali menulis curhatan di diary. Sekalipun perhatian lebih tertuju kepada diary-nya yang unyu-unyu dan memiliki gembok mungil di pinggirnya yang ternyata bisa dibuka bahkan menggunakan ujung bolpoin, saya ternyata sudah menulis sedari kecil. Menulis merupakan bagian aktivitas saya. Sesuatu yang jarang dilakukan oleh anak-anak seusia saya.

Memasuki MTs atau setara SMP, saya mulai mengikuti perlombaan karya tulis fiksi di pondok pesantren yang tidak jauh dari rumah saya di Sumenep. Sebenarnya, lomba menulis ini tempat ‘pelarian’. Saya orangnya pemalu dan sulit berbicara di depan umum. Menulis menjadi penyaluran sekaligus pelarian.

Karena sangat berkeinginan mengikuti lomba, saya mencari lomba yang tidak perlu maju ke pentas dan cukup berada di ‘belakang layar’. Alhamdulillah atas izin Allah SWT, pada lomba cerpen yang pertama saya ikuti saya mendapat urutan ketiga. Saya juara tiga dan pialanya merupakan piala pertama yang saya dapatkan. Sungguh tidak akan pernah dilupakan.

Menyusul piala pertama, tahun berikutnya saya mendapat piala lagi untuk lomba yang sama. Kali ini saya menjadi juara pertama. Cara menuturkan cerpen yang disertakan pada lomba ini berbeda dengan cerpen sebelumnya. Saya menyadari sebagai akibat dari kesukaan saya kepada serial Harry Potter karya Joanne Kathleen Rowling. Buku-buku karya J.K. Rowling menjadi ‘pedoman’ dalam penulisan cerpen-cerpen yang saya ikutkan lomba. Saya merasa nyaman dengan gaya bahasanya, dan saat itu jarang ada cerpen serupa gaya terjemahan.

Memasuki MA atau SMA, rutinitas mengikuti lomba cerpen terus berlanjut, termasuk di luar wilayah Madura, tetapi sebatas via email. Saya juga mencoba mengirimkan cerpen ke majalah nasional, tetapi selalu hilang kabar. Jangankan menerima berita pemuatannya, menerima kabar bahwa cerpen tersebut tidak dimuat karena alasan ini-itu pun tidak. Meski begitu, saya sekarang bersyukur, karena setidaknya ada karya tulis yang saya hasilkan. Saya tidak kecewa cerpen-cerpen saya tidak (belum) dimuat majalah nasional.

Mirisnya, jika saya flash back, saya hanya akan menulis jika ada lomba atau diminta saja—kecuali untuk curhatan di diary. Kebiasaan tersebut memang tidak patut ditiru. Bahkan saya pun sebenarnya merasa tertekan. Mengapa? Karena menulis untuk suatu tujuan dan ditunggu deadline mematikan otak saya. Otak saya tidak selincah saat saya menulis untuk diri saya sendiri (saya membandingkan itu dengan cerpen saya yang mengalir apa adanya). Di samping itu, saya termasuk orang yang sulit fokus dan pemilih masalah waktu. Sekali fokus, saya bisa duduk dan menyelesaikan tulisan. Itu artinya saya harus mencari waktu khusus untuk menulis, sekiranya tidak ada hal yang mengganggu di tengah-tengah waktu menulis.

Sangat merepotkan memang. Tetapi, jujur saja, jika bukan karena ada lomba atau tidak diminta menulis, saya tidak akan menulis. Mungkin karena kebiasaan jelek tersebut, saya punya pandangan bahwa menulis adalah hal yang saya sukai, tetapi juga hal yang sangat sulit. Bagaimana bisa suka tetapi sulit? Yap, bagi saya menulis berarti memikirkan jumlah halaman sekaligus kualitas isi. Itu adalah kendala besar sebelum saya melangkah, yang ujung-ujungnya membuat kertas tetap saja kosong atau terisi tak penuh.

Menulis sendiri adalah sesuatu yang luar biasa. Ia mampu membuat seseorang menjadi abadi melebihi umurnya. Menulis mampu menjadikan seseorang menjadi guru lewat tulisan yang ia ajarkan kepada orang lain.

Lalu, bagaimana menulis bisa menjadi sesuatu yang menyenangkan dalam bagian hidup dan jiwa kita? Mulailah dengan menulis apa yang kita sukai dan apa yang kita ingin tuliskan. Seperti yang saya lakukan saat masih MI. saat ini, bagi saya itu adalah sebuah prestasi besar di mana saya menulis tanpa syarat, menulis untuk diri sendiri, meski dengan bahasa yang amat sangat sederhana bahkan konyol di mata saya. Tetapi begitulah seharusnya menulis. Mengalir dari hati dan rasa, mengalir apa adanya.

Banyak membaca juga akan membantu kegiatan menulis menjadi sesuatu yang alami dari diri kita. Sebab membaca sama seperti makan, ada hal yang harus dibuang atau dikeluarkan sesudahnya. Membaca, menurut salah seorang guru di MA dulu, adalah “kulakan” (ilmu pengetahuan) di mana kita harus “menjual” sesudahnya. Sering-sering membaca akan melahirkan rasa tidak nyaman dalam hati, seolah ada sesuatu mengganjal yang harus diungkap, yang harus dituliskan.

Saat sudah menulis, jangan menghapusnya dulu. Biarkan saja tulisan tersebut. Tulis saja semua yang terlintas di otak. Biarkan tangan ini berjalan dan jangan berhenti sampai usai. Barulah kemudian baca kembali, pangkas dan tambahkan yang perlu. Baca lagi, edit lagi. Begitulah terus sampai puncaknya kita merasa puas dan siap untuk mengarsipkannya sendiri. Ya, batasan manakala kita sudah yakin bahwa tulisan tersebut sudah bagus, pantas dipublikasikan.

Jika masih ingin rutin menulis, maka cobalah menulis karena tuntutan diri sendiri. Seperti misalnya, dalam seminggu harus ada sekian karya yang dihasilkan. Dan tentunya, untuk konsisten, hal tersebut harus disertai dengan niat dan tekad yang kuat.

Saat menulis sudah menjadi daging dalam tubuh, menjadi oksigen dalam napas, dan menjadi darah dalam nadi, kita akan merasakan bahwa menulis tidak sekadar untuk eksis, tetapi lebih dahsyat dari itu.

Amin.

Share this

0 Comment to "Menulis (4.1): Menulis Tanpa Syarat"

Post a Comment